Dievakuasi Bagaikan Pengawalan Pejabat (2)

Oleh : M. Dahlan Abubakar

Membaca buku Asmawi Syam-Rhenald Kasali “Leadership in Practice” (Balai Pustaka, 2019) baru membuat saya benar-benar khusyu saat “lockdown” di rumah akibat si keparat tak kasat mata “Corona Virus Disease” (Covid)-19 itu. Pada bab 10 halaman 87 (bukan 81 seperti pada tulisan sebelumnya) bertutur tentang pengalaman Asmawi Syam di Timor Timur pada saat krisis keamanan di daerah tersebut.

Berbicara mengenai Timor Timur selalu membuat “syahwat” membaca saya kian bernafsu (maaf agak bombastis). Apalagi kejadiannya pada tahun 1999 menjelang dan pasca-jajak pendapat dan dilakonkan oleh seorang lelaki Bugis yang tentu saja memiliki jiwa patriotisme dan komitmen yang tinggi.

Pasalnya, kisah Asmawi selalu menyentuh lubuk rasa kita yang terdalam. Dalam dunia jurnalisme kisah Asmawi Syam di Timor Timur ini termasuk kategori karya bergenre “human interest”,yakni cerita yang berkadar memiliki daya tarik insaniahnya. Bentuk daya tarik itu melahirkan rasa yang macam-macam.

Boleh bersifat humor, sedih, haru, iba, dan sebagainya. Tetapi penggalan kisah Asmawi yang akan saya singgung ini mengusung rasa haru dan sedih serta bangga yang sangat mendalam. Bagaimana bentuk rasa haru, sedih, dan bangganya, silakan simak selanjutnya.

Asmawi Syam pertama menginjakkan kakinya ke Timor Timur, tepat dua minggu menjelang jajak pendapat atau referendum. Dewan Keamanan PBB 11 Juni 1999 mengeluarkan resolusi 1246 yang menetapkan referendum atau jajak pendapat dilaksanakan 30 Agustus 1999.

Indonesia berharap hasil referendum alih-alih bisa dimenangkan, namun justru yang terjadi sebaliknya. Dari 438.968 jiwa rakyat Timor Timur, 344.580 jiwa (78,50%) di antaranya memilih memisahkan diri dari Indonesia alias merdeka.

Hasil referendum yang ditengarai akibat kecurangan pihak asing ini berbuntut lepasnya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 Republik Indonesia dan kian mencekamnya situasi di Timor Timur. Pembakaran, dan pembunuhan terjadi secara masif. Kekacauan merajalela di mana-mana.

Saya yang kebetulan pernah ke daerah ini tahun 1994 membayangkan, bagaimana membangun kembali daerah yang baru mulai menata dirinya selama 24 tahun di bawah pemerintah Indonesia itu dengan kondisi yang seperti ini.

Padahal, selama Soeharto berkuasa, Timor Timur bagaikan anak emas Indonesia. Dana yang begitu besar digelontorkan di daerah ini yang salah satu wujudnya adalah mulusnya jalan raya di provinsi itu seperti yang saya lihat.

Membaca kondisi yang kian memanas tersebut, BRI pun langsung memutuskan mengevakuasi para karyawan. Asmawi menemui pimpinan TNI di Timor Timur dan menyampaikan akan berusaha bertahan di wilayah itu bersama TNI/Polri.

Oleh sebab itu dia minta para eksodus dari beberapa daerah seperti Lospalos, Viqueque (baca: Vikeke), Manatuto, Ainaro, Aileu, Ermera, Maliana, dan Suai segera merapat ke Dili atau langsung ke Atambua, daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Timur di sebelah barat.

“Seluruh karyawan BRI mendapat pengawalan setara dengan pejabat pemerintah lainnya,” tulis Asmawi di halaman 94 bukunya bersama Rhenald Kasali.

Permintaan Asmawi tersebut diamini TNI/Polri yang kemudian mengevaluasi mereka melalui jalur laut darat dengan protokol pengawalan layaknya pejabat negara. “Terima kasih TNI/Polri,” imbuh Asmawi.

Guna menyambut kedatangan para karyawan yang dievakuasi dari Dili di Kupang, Asmawi berinisiatif mengontak Pak Djokosantoso Moeljono, Direktur Utama BRI ketika itu. Asmawi ingin Pak Dirut menyambut saat rombongan eksodus ini tiba di ibu kota Provinsi NTT, Kupang.

Awalnya, Pak Djokosantoso memberitahu bahwa kesehatannya sedang kurang baik. Ia juga sedang sibuk mengawal tahap-tahap akhir restrukturisasi BRI menghadapi dampak imbas krisis ekonomi 1998.

Asmawi meyakinkan Pak Djokosantoso agar datang pada hari itu juga. Pasalnya, jika momen menyambut karyawan BRI saat selamat tiba di Kupang tak akan pernah terulang. Jika ditunda, pasti nuansanya berbeda. Agaknya, Pak Djokosantoso “termakan” dan memahami kalimat Asmawi ini.

Pada hari itu juga, ditemani istrinya, Pak Djokosantoso terbang ke Kupang dalam kondisi yang kurang sehat. Flu berat yang belum juga reda selama penerbangan membuat Ibu Djokosantoso sibuk menyelimuti suaminya dengan kain tebal.

Di Kupang, Ibu Djokosantoso dan Aryani Soemarmo, istri Asmawi Syam, ke pasar berbelanja baju, makanan, susu, dan berbagai keperluan lain sebagai persiapan menyambut para karyawan BRI maupun pengungsi. (Bersambung)

Top Hit

Politik

Pendidikan

Seputar Sulawesi

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN