Oleh Mulawarman
Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat dan Harian Surya
JANGAN pernah memarahi anak buah di depan anak buah yang lain. Sikap itu akan menunjukkan secara nyata, anda bukanlah seorang pemimpin. John C Maxwell pakar kepemimpinan paling populer 5 tahun terakhir di dunia, menyebutkan hal itu dengan tegas.
Saya sependapat dengan Maxwell. Karenanya Saya menganggap Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah, sejak memimpin Sulsel delapan bulan terakhir, bukan lagi seorang pemimpin.
Buktinya, akhir pekan pertengahan April 2019 Nurdin memarahi bahkan menfitnah Jumras bawahannya. Jumras adalah Kepala Biro Pembangunann Pemprov Sulsel. Nurdin menuduh Jumras, tanpa bukti yang jelas.
Nurdin Abdulah marah pada Jumras dengan amarah yang menggelegak. Pasalnya, Jumras menolak memberikan tiga proyek jalan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2018/2019 pada tiga Kabupaten kepada Anggu dan Feri. Anggu dan Feri adalah pengusaha warga keturunan, kontraktor kenalan Nurdin Abdulah.
Anggu dan Feri atas perintah Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, Kamis dua pekan lalu mendatangi Biro Pembangunan Pemprop Sulsel. Kepada Jumras, kedua kontraktor warga keturunan itu, meminta tiga proyek pembangunan jalan. Proyek itu masing-masing di Soppeng, Bone dan Luwu. Nurdin telah berjanji memberikan proyek-proyek itu kepada mereka berdua.
Anggu dan Feri merupakan pengusaha kontraktor langganan banyak bupati di Sulsel. Kepada Jumras, keduanya mengaku telah mengeluarkan uang sebesar Rp10 miliar untuk biaya kampanye Nurdin Abdullah di Pilkada Gubernur tahun 2018. Karenanya, tiga proyek jalan itu menjadi jatah Anggu dan Feri.
Tak dinyana, Jumras menolak memberikan tiga proyek itu. Pasalnya, proyek sudah dalam tahap akhir lelang. Menurut Jumras, pihaknya harus segera mengumumkan nama perusahaan yg memenangkan lelang tersebut.
Penolakan itu berbuah pemanggilan atas Jumras dua hari kemudian. Nurdin Abdullah meminta Jumras menemuinya di ruang kerja gubernur pada Sekretariat Daerah Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo. Ada pesan khususnya, penting!
Tanpa basa basi, Nurdin Abdullah menuding Jumras telah menerima fee dari proyek jalan di tiga kabupaten di Sulsel.
Kejadian itu disaksikan tiga orang. Ada Asri, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang baru dilantik. Ada pula Prof Yusran dan Dr Jayadi Nas. Keduanya merupakan staf ahli gubernur Sulsel.
Nurdin Abdullah mencopot Jumras dengan tidak terhormat dari jabatan Kepala Biro Pembangunan Pemprov Sulsel, saat itu juga.
“Saya copot kamu, karena kamu terima fee,” kata Nurdin Abdullah dengan intonasi suara yang meninggi.
Apa yg telah dilakukan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah pada Jumras anak buahnya, menurut Dr Muhammad Idris DP mantan Deputi Diklat LAN Jakarta menunjukkan kalau Nurdin Abdullah sedang mengalami krisis kepemimpinan atau Leadership Disfunction. Saat ini Muhammad Idris menjabat sebagai Sekretaris Propinsi Sulawesi Barat (Sekprop Sulbar).
Idris menambahkan, Nurdin telah melabrak etika dan hukum kepemimpinan. Nurdin, kata Idris telah mengabaikan hak dasar Jumras sebagai manusia. Ditegaskannya, Nurdin Abdulah telah merusak kerangka dasar kemanusiaan atau Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemimpin yg tidak menghargai hak dasar manusia yg dipimpinnya, kata Koentjoroningrat di buku Mentalitas Pembagunan, tidak bisa disebut pemimpin. Orang seperti itu tidak layak menjadi pemimpin di masyarakat yg berkebudayaan kental seperti masyarakat Indonesia.
Kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia ini, sangat menghargai dan menjunjung tinggi kerangka dasar kemanusiaan itu.
Tanpa penghargaan pengakuan kemanusiaan, kita tidak bisa dikatakan berbudaya atau berperadaban, kata Koentjoroningrat sang antropolog. Bagaimama mungkin orang tak berbudaya atau beradab, menjadi seorang pemimpin.
Nurdin Abdullah dengan bantuan para staf ahli, sesungguhnya bisa medeladani para gubernur Sulsel pendahulunya , tentang adab memperlakukan anak buah. Semisal Prof Ahmad Amiruddin. Nurdin Abdullah sendiri telah berjanji akan menjadi penerusnya.
“Saya akan jadi The Next Amirudin,” kata Nurdin Abdullah di berbagai forum di Sulsel.
Saya menyaksikan kepemimpinan Prof Amirudin selama 10 tahun di Unhas dan 10 tahun di Kantor Gubernur Sulsel. Amirudin tidak pernah memarahi anak buah di depan anak buahnya yang lain. Prof Amirudin tidak pernah mencopot satupun anak buahnya, apalagi mencopotnya dengan tuduhan yg tidak punya bukti.
Demikian halnya Gubernur Sulsel setelah Amiruddin, Zainal Basri Palaguna. Palaguna tak pernah memarahi anak buah di depan orang lain yg tidak ada hubungan dengan kesalahan yang dilakukan anak buah yang sedang dimarahinya itu.
Palaguna hanya memanggil anak buah yang diketauinya berbuat kesalahan, untuk segera menghadap. penanggungjawab pekerjaan seperti Kabiro dan Kadis di mana sang anak buah melakukan kesalahan.
Anak buah Palaguna itu, biasanya cepat menyadari apa kesalahannya. Selang sehari dua hari kemudian, anak buah tersebut menghadap Palaguna, mengakui kesalahannya dan siap memperbaikinya jika diberi kesempatan. Si anak buah akan meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan serupa.
Sedikit berbeda adalah Amin Syam, Gubernur Sulsel setelah Palaguna. Jikalau ada anak buah melakukan kesalahan, Amin Syam hanya menyebutkan ke anak buahnya, jika si bawahan ada kesalahan. Setelah itu, Amin Syam enggan berkomunikasi dengan bawahannya itu. Komunikasi takkan terjalin sampai si bawahan menemukan sendiri, apa kesalahannya. Lalu bawahan tersebut datang menemui Amin, melapor jika telah mengetahu apa kesalahannya. Si bawahan mengaku sudah memperbaiki, dan tentu saja meminta maaf pada Amin Syam.
Gubernur pengganti Amin, Syahrul Yasin Limpo (SYL) punya karakter yang hampir sama. SYL akan merangkul bahu anak buahnya, lalu berkata, “Awwa bela, bikingko sEng kesalahan. Perbaiki na. Ada ji pasti maafku bos, kalau bisa ji kesalahanmu diberi maaf.”
Gubernur Sulsel dari Amirudin hingga SYL, belum pernah ada yang mengumumkan ke publik, jika usai mencopot para bawahannya; Kasubag, Kabiro, dan Kadis.
Apalagi mengatakan, "Saya mencopot pejabat si A atau si B dengan tidak hormat,"
KUATNYA TEKANAN
Mengapa Nurdin Abdullah tak mampu medeladani pendahulunya, dari Prof Amirudin sampe Syahrul Yasin Limpo dalam mengelola birokrat bawahannya?
Hal itu tak lain karena Nurdin Abdullah tidak mampu melawan tekanan dari kekuatan oligarki lokal. Feri, Anggu dan kelompoknya (pengusaha lokal keturunan Sulsel) telah mengantarnya meraih kekuasaan kursi empuk nomor satu di Sulsel.
Nurdin Abdullah tidak mampu melawan tekanan Anggu dan Feri yang berkuasa atas diri Nurdin. Soalnya, sumberdaya material kekuasaan Nurdin, datang dari kekuatan material Anggu, Feri dan kelompok itu.
Tekanan itu tak hanya datang secara terus menerus dari Feri dan kelompoknya. Ada tekanan lebih kuat, yang datang dari Amran Sulaiman Menteri Pertanian. Ada pula partai politik pendukung Nurdin saat mengikuti kontestasi Pilgub Sulsel 2018.
Tekanan kelompok Feri bisa dilihat dari kasus Jumras itu. Kalau tekanan kuat dari kelompok Amran Sulaiman, bisa terlihat dengan diangkatnya saudara kandung Amran Sulaiman menjadi Kadispenda Pemprop Sulsel. Terjadi tarik menarik mereka dalam penentuan pejabat Sekprop Sulsel serta Penjabat Walikota Makakassar.
Karena itu, sangat bisa diyakini Nurdin Abdullah tidak akan pernah mampu melawan tekanan dari dua kelompok oligarki itu. Nurdin Abdullah tidak punya kekuatan modal material atau ekonomi dan modal politik untuk melakukan perlawanan. Modal pencitraan, yang merupakan satu-satunya satu-satunya milik Nurdin Abdullah, tak dapat digunakan melawan tekanan dua kelompok itu.
Akibatnya, Nurdin Abdullah akan terus dalam tekanan dan itu akan menggerogoti atau mendegradasi kepemimpinan Nurdin Abdullah ke depan.
Sampai kapan Nurdin bertahan dalam tekanan kuat itu? Apa langkah yang bisa diambilnya untuk menambah modal selain pencitraan publik yang dimilikinya.
Mungkin orang-orang seperti Prof Yusran atau Dr Jayadi Nas yang menjadi staf ahlinya bisa membantu mencari solusinya.
Yang jelas Sulsel butuh kepemimpinan berkualitas. Warani, malempu, getteng na ri parennuang! Dan tragisnya itu semua, tidak ada pada diri Nurdin Abdullah. (*)