Soal Pemberian Surat Pindah Siswa SMANSA, Pemerhati Pendidikan Nilai Sebagai Tindakan Pelanggaran Terhadap Prinsip Pendidikan

SOROTMAKASSAR - MAKASSAR.

Polemik pemberian surat permohonan pindah kepada sejumlah siswa SMAN 1 Makassar terus menuai kecaman. Kali ini datang dari pemerhati pendidikan Sulawesi Selatan, Muslimin Yunus, yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip pendidikan yang inklusif dan bebas tekanan.

Dalam pernyataannya kepada media, Sabtu (3/5/2025), Muslimin menyayangkan tindakan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMAN 1 Makassar yang diduga memaksa sejumlah orang tua siswa menandatangani surat permohonan pindah, padahal para siswa tersebut masih menjalani proses perbaikan akademik.

"Tindakan itu sangat mencederai semangat pendidikan. Anak-anak itu bukan barang yang bisa digeser begitu saja," tegasnya.

"Bayangkan, awalnya hanya ada lima siswa yang diberi surat permohonan pindah. Dua di antaranya langsung pindah ke sekolah lain hanya dalam waktu dua hari. Itu sudah sangat jelas menunjukkan adanya beban psikologis dan tekanan mental terhadap anak-anak tersebut. Lalu, pada undangan pertemuan 2 Mei 2025, ternyata ada 40 siswa yang dihadirkan. Ini memperkuat dugaan kami bahwa telah ada rencana sistematis yang sangat berpotensi merugikan siswa," ungkapnya.

Muslimin juga menyesalkan pernyataan Kepala SMAN 1 Makassar yang mengaku tidak mengetahui adanya surat permohonan pindah tersebut. "Jika benar Kepala Sekolah tidak tahu, maka itu menunjukkan buruknya tata kelola dan pengawasan internal. Ini harus jadi perhatian serius," tambahnya.

Ia mendesak Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, agar segera mengambil tindakan tegas, baik kepada Kepala Sekolah maupun Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, karena dianggap telah melanggar hak dasar peserta didik serta melecehkan fungsi sekolah sebagai ruang aman dan mendidik.

Dugaan Pelanggaran :
1. Melanggar asas non-diskriminasi dalam pendidikan, sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 80 Tahun 2013 tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

2. Melanggar prinsip perlindungan psikologis anak, karena sejumlah orang tua dan siswa mengaku stres dan merasa tertekan atas ancaman surat permohonan pindah tersebut.

3. Melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 76C dan 76D, yang melarang setiap bentuk kekerasan psikis dan penelantaran anak dalam konteks pendidikan.

4. Melanggar UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang juga mencakup perlindungan terhadap perempuan dan anak di lingkungan pendidikan.

5. Penyalahgunaan wewenang, karena surat permohonan pindah disebut tidak diketahui oleh kepala sekolah dan tidak memiliki dasar administratif yang sah dan tidak mengambil tindakan tegas terhadap wakasek bidang kesiswaan.

6. Potensi manipulasi data peserta didik, menjelang Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (SPBM) Tahun Ajaran 2025–2026, yang berpotensi membuka ruang untuk praktik kecurangan dalam sistem kuota penerimaan.

Muslimin menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi ruang pembinaan, bukan penyingkiran. “Jika ada siswa yang lemah dalam akademik, semestinya dibina, bukan ditekan untuk keluar,” katanya. Ia juga mengingatkan agar semua pihak di lingkungan sekolah mengedepankan etika, komunikasi terbuka, dan prinsip keadilan dalam mendidik siswa.

Kasus ini menjadi perhatian besar publik, terlebih terjadi di momen peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025, yang seharusnya menjadi refleksi atas hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. (res)

Top Hit

Politik

Pendidikan

Seputar Sulawesi

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN