SOROTMAKASSAR--Gowa.
Banyak cara untuk mendapatkan tanah yang luas, yang penting punya modal dan kemampuan untuk mengintimidasi agar yang punya tanah ketakutan, bahkan dengan kemampuan merekayasa bukti kepemilikan.
Menurut M Yamin, Wartawan senior PWI Sulsel, ulah para pemburu tanah (mafia tanah) memang luar Biasa. Berbagai cara bisa dilakukan untuk mendapatkan tanah yang diinginkan seluas-luasnya.
Seperti yang dilakukan Nony Meywati Parawangsa, dengan modal sertifikat yang tiba-tiba dimunculkannya, ingin menggusur petani asli Buluballea, Tinggimoncong, Gowa.
Dia melaporkan Tini Mase di Polres Gowa, yang dituduh sebagai penyerobot tanahnya.
M Yamin mengatakan, bagaimana logikanya tuduhan penyerobot tanah?
Tini sejak lama telah menggarap dan menguasai tanah tersebut sejak dari orangtuanya. Justru dapat dikatakan, pelapor ini hanya memperalat Polisi untuk mendapatkan keinginannya, seperti yang telah dilakukan Karaeng Naba kepada Dg Limpo.
Menurut pengakuan Dg Limpo (65 tahun), warga asli Buluballea, yang juga
Pernah menjadi RT di Buluballea Selama 34 tahun, bahwa tanah yang diakui oleh Nony Meywati sebagai tanahnya, berasal dari tanah Karaeng Ati, yang dibeli dari Puang Kadasa, Kepala Lingkungan Buluballea saat itu, yang luasnya hanya 70 x 100 meter, yaitu 100 lebar dan 70 meter panjang ke belakang.
Dg. Limpo, sebagai Ketua RT saat itu, ikut tanda tangan sebagai saksi pembelian dari Puang Kadasa, sehingga tahu betul luas tanahnya hanya 70 x 100 meter.
Bagaimana tanah itu bisa berlipat luasnya? Itu yang menimbulkan tanda tanya besar, dan harus dijelaskan karena telah mencaplok tanah orang lain.
Setelah meninggal Karaeng Ati, tanahnya dikuasai oleh Karaeng Naba (yang diduga adalah suami Nony Meywati), Dialah yang kemudian melaporkan Dg Limpo dan merebut tanahnya.
Pada Tahun 2020 ini, muncul Nony Meywati Parawangsa yang mengaku memiliki sertifikat atas namanya, yang luasnya menjadi 15.450 m2, dengan No. Sertifikat 00498, yang dikatakan merupakan sertifikat pengganti M 70.
Kemudian dengan ukuran tanah yang ada di sertifikat itu, dia memberi ultimatum kepada Tini Mase untuk keluar dari lahan yang selama ini digarapnya, kalau tidak, Dia mengancam akan diproses hukum.
Padahal sebelum Karaeng Ati membeli tanah Puang Kadasa, Dg Bongka (bapaknya Tini) sudah menggarap dan menguasai tanah tersebut, hingga sekarang ini pengolahannya dilanjutkan oleh Tini.
Pengakuan Tini, dibenarkan Dg Limpo, tanah itu sejak dulu sudah dimiliki dan digarap Dg Bongka, kenapa mau diambil lagi sama Nony?
Tini bersama suaminya Umar Mase, adalah Petani Sayur yang buta huruf, tapi tidak buta hati untuk mengambil hak orang lain.
Dia berharap Aparat Polisi Polres Gowa, bisa menangani laporan seperti ini dengan bijak. "Kami rakyat kecil sangat takut sama polisi, jangan Kami dibuat semakin takut, dan hilang kepercayaan. Kepada siapa Kami berlindung dari kezaliman orang pintar seperti Nony?" kata Tini, pasrah. (Syafie)