Oleh : Syahril Patakaki.
SOROTMAKASSAR -- Makassar.
Sebagai film karya sineas-sineas lokal anak Makassar, cukup menggembirakan apalagi mengambil konten cerita daerah dari bukit Toeng yang melegenda di masyarakat "Turatea" Kabupaten Jeneponto.
Semula saya telah mempersiapkan diri untuk menonton film horor yang pasti banyak menampil kejadian-kejadian aneh yang menyeramkan dan membuat bulu kuduk merinding. Namun kesan horornya hanya sebagai adegan pemanis yang menempel dalam kisah film De toeng ini, maksud saya tidak tuntas sebagai film horor. Mungkin karena kondisi tertentu dalam penggarapan yang terkadang banyak kendala.
Ending film De Toeng, cukup bagus. Sutradara (Bayu Pamungkas) mampu membawa penonton terharu dan membangun rasa penonton ikut menyesalkan perlakuan yang tidak bijak akibat kesombongan, keangkuhan, dan kekuasaan karena mempertahankan harga diri.
Apalagi didukung aktor yang mampu membangun suasana yang kuat. Karakter sebagai kepala dusun (A. Agung Iskandar) kelihatan tuntas memerankan peran tokoh tersebut, dan mampu mengimbangi kehadiran pemeran-pemeran utama di film De Toeng.
Namun sayang, kelihatan film De Toeng kendor pada konflik diperseteruan antara karaeng Ledeng dan Karaeng Intang kurang menggigit, tidak memperlihat karakter "Turatea" yang terkenal keras dan gigih dalam mempertahankan sesuatu hal yang dianggap urgen. Karaeng Intang hanya pasrah begitu saja menerima keputusan suaminya. Dan yang membuat misteri cerita ini dengan kematian yang tak wajar tanpa diketahui oleh siapa saja. Memang misteri. Apa pantas seorang karaeng tidak mengetahui kematian isteri dan cucunya, "misteri nenek toeng"..?
Apakah karena kekerasan hati atau karena mempertahankan harga diri dalam hal ini "Sirik"..? Sehingga semuanya harus dirahasiakan dan pada akhirnya tetap luruh dibawa kaki Sang Takdir.
Adalah sebuah tanda tanya..? Kisah ini apa memang terjadi, mitos, atau..?
Terakhir, saya agak terganggu dengan beberapa adegan kelompok figuran yang terlalu dipaksakan untuk muncul di adegan tertentu dalam film ini. Untungnya, saya melihat kerja sutradara yang cukup serius ingin menghidupkan beberapa adegan-adengan peralihan. Hal ini cerdik menyusupkan kedua dukun yang apik dan menghibur memerankan peranannya. Termasuk Sanro Appasili (Ishakim). Begitu juga dengan kemunculan dukun (Jamal April Kalam) keduanya mampu mengalihkan kebosanan dan membuat kita sedikit terpingkal dengan sikap-sikap yang kontradiktif sebagai dukun. Hal yang menarik sengaja diciptakan oleh sutradaranya.
Saya berharap, semoga bermunculan film2 yang menarik dan layak. De Toeng telah memberi arti dalam pertumbuhan dan perkembangan film nasional yang digarap oleh sineas anak Makassar yang menggembirakan. Selamat berkarya. (rk)