SOROTMAKASSAR - MAKASSAR.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, Prof. Dr. Munira Hasyim, SS, M.Hum mengatakan, dalam aktivitas belanja daring (online shop), ‘seller’ (penjual) perempuan sering mengalami pelecehan verbal dalam bentuk menerima komentar tak pantas dan pelecehan saat terlibat dalam aktivitas “online shop” (belanja daring).
“Dalam hal ekspektasi gender, perempuan dituntut untuk selalu ramah, murah senyum, dan sabar menghadapi pelanggan sulit,” ujar Prof. Munira Hasyim dalam seminar daring bertajuk “Bahasa Perempuan di Era Digital: Dari Fiksi hingga Realitas Sosial” yang dilaksanakan Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jumat (23/5/2025) siang.
Seminar yang dipandu M. Hamdan Mukafi, SS, MA, juga menampilkan narasumber Prof. Dr. Mundi Rahayu, M.Hum, Dosen Sastra Inggris UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Munira Hasyim mengatakan, tantangan yang dihadapi perempuan terkait stereotip dan diskriminasi gender juga mencakup perlindungan yang minim, yakni platform belum optimal dalam memberikan perlindungan khusus terkait gender.
“Fenomena belanja online di Indonesia mengalami pertumbuhan eksplosif dalam beberapa tahun terakhir. Platform sosial menjadi arena baru untuk mengekspresikan dan menegosiasikan identitas gender. Data menunjukkan (2024), sekitar 85% pengguna media sosial pernah berbelanja online meskipun hanya sekali. Sementara tiga platform utama yang dipilih,yakni shopee, Tokopedia, dan Instagram. Sekitar 70% segmentasi gender,” ujar Guru Besar kelahiran Gowa 10 Mei 1971 tersebut.
Mengenai bahasa pria dan wanita yang digunakan dalam komunikasi digital ‘online shop’, Munira Hasyim menyebutkan dari segi fonologi (bunyi, irama), wanita sering menggunakan nada yang lebih tinggi dan variasi nada yang lebih besar dibandingkan pria. Kecenderungan ini tidak hanya bersifat biologis, tetapi juga dikondisikan secara sosial. Sementara dari aspek sintaksis (kalimat), perempuan lebih cenderung menggunakan struktur sintaksis tertentu yang menunjukkan kesopanan dan penghormatan, seperti pertanyaan penanda dan lindung nilai untuk memperhalus pernyataan mereka.
“Dalam aspek kosakata, wanita sering ditemukan menggunakan bahasa yang lebih deskriptif dan emosional yang sejalan dengan stereotip masyarakat bahwa wanita lebih ekspresif dan berempati,” ujar Guru Besar yang juga menjabat Ketua Departemen Sastra Indonesia FIB Unhas ini.
Sedangkan dari aspek pragmatik, Munira Hasyim megemukakan, wanita umumnya lebih cenderung menggunakan strategi kesopanan, seperti permintaan tidak langsung dan umpan balik positif, untuk menjaga keharmonisan sosial dan membina hubungan yang positif.
Dia menyimpulkan dalam paparannya, bahasa dan simbol online merupakan bentuk negosiasi identitas yang dinamis. Platform digital berperan memperkuat sekaligus menantang stereotip gender. “Online shop menjadi arena pemberdayaan dan aktualisasi gender kontemporer,” imbuh Munira.
Dia menyarankan, diperlukan edukasi literasi gender, yakni perlu peningkatan kesadaran tentang perspektif gender di ranah digital Indonesia. Dalam hal perlindungan platform, sebagai ‘marketplase’ online, harus memperkuat perlindungan bagi “seller’ perempuan. Sedangkan terkait aspek refleksi sosial, identitas gender di ‘online shop’ mencerminkan dinamika sosial masyarakat Indonesia kontemporer. (mda)