"Bisakah ?" Atau "Bolehkah ?"

"Bisakah ?" Atau "Bolehkah ?"

Oleh : M. Dahlan Abubakar

UNTUK pertama kalinya saya tertarik membaca obrolan Daeng Nappa dan Daeng Tompo yang entah sudah berapa puluh kali tayang di media daring ini. Hanya saja, ketertarikan saya itu bukan karena konten ceritanya, melainkan persoalan diksi yang dipilih oleh juru cerita.


Penting saya beri catatan karena beberapa waktu lalu di “kolom” ini  teman-teman pernah membaca atau setidak-tidaknya mengikuti kuliah gratis mengenai subjek “Bahasa Jurnalistik”. Oleh sebab itu, izinkan saya berbagi mengenai pemakaian kedua diksi sebagaimana judul tulisan ini. 

Penggunaan kata "bisa" mengandung manfaat ganda, tetapi akan dibedakan oleh kalimat, tempat kata itu diikutkan. "Bisa" dapat bermakna “racun” (pada ular misalnya), namun bermakna "mampu", jika dikaitkan dengan dialog kedua Daeng di warung kopi itu (tidak disebutkan di warung kopi mana).

Namun diksi "bisa" pada judul tulisan tersebut rasanya tidak berterima jika merujuk pada makna leksikal kata "bisa" adalah "mampu" (kuasa melakukan sesuatu). Kalau pun kata "bisa" diartikan sebagai "dapat" pun, tetap tidak berterima. Sebab kata "dapat" baru berterima jika dipadankan dalam kalimat "Ia dapat membaca, tetapi tidak dapat menulis”.

Sementara kata "boleh" bermakna : ”diizinkan ; tidak dilarang”, sehingga jika digunakan pada kalimat obrolan kedua Daeng itu judul tulisannya akan berbunyi "Masih Bolehkah Gubernur itu Disebut Profesor ?". Rasanya ini diksi yang tepat. Masalahnya juga tidak selesai di situ. Profesor dan gubernur adalah dua diksi yang bermakna jabatan. 

Jadi, ketika kita menyebutkan "Masih Bolehkah Gubernur Disebut Profesor ?", juga akan rancu, sebab keduanya tidak merujuk orang (nomina predikatif), tetapi jabatan. Memang dalam sapaan sehari-hari kita sering menyebut kata “profesor’ atau “gubernur”, namun selalu diikuti oleh kata “Bapak” (Pak). Hanya memang ada konvensi tidak tertulis ketika seseorang mengatakan “profesor” atau “gubernur” sekaligus merujuk pada orangnya.

Namun dalam hal ini karena kita berbicara bahasa jurnalistik yang “basic”-nya bahasa Indonesia baku, jelas harus dipisahkan penggunaannya. Penggunaan kata “bisa” juga pernah saya koreksi pada pelayan hotel ketika hendak mengambil piring-piring  atau gelas yang sudah digunakan tamu pada saat makan.

Kita sering mendengar kalimat seperti ini : “Bisa saya ambil ?,”. Kalimat ini terdengar kurang menyejukkan, sehingga yang tepat adalah : ”Boleh saya ambil ?”.

Ini sekadar berbagi demi perbaikan penggunaan bahasa jurnalistik yang juga bersumber dari bahasa Indonesia baku. Wassalam dan selamat menjalankan ibadah puasa ! (*)

Politik

Pendidikan

Opini

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN