Oleh : Soeprapto Budisantoso.
Quo Vadis Indonesia, sebetulnya pertanyaan siapa ? Itulah inti pertanyaan saya pada para panelis : Pemerhati Budaya Yonggris, Budayawan Alwy Rahman, dan Sastrawan Aslan Abidin. Pertanyaan Ishak, ataukah sebetulnya pertanyaan kita semua ? Dan apakah buku itu merupakan jawaban Ishak atas pertanyaan itu ?
Setelah buku dibuka, rupanya berisi kumpulan tulisan Ishak diberbagai media lokal/nasional meliputi kurun 1980-2018. Quo Vadis Indonesia, adalah tulisannya di tahun 2004, sudah lewat tiga masa jabatan Presiden. Sekarang mengapa itu dipilih sebagai judul ? Apakah karena para editor dan perancang proyek buku ini menganggap bahwa pertanyaan Ishak itu belum terjawab, dengan kata lain masih relevan, setelah 15 tahun berlalu ?
Dalam tulisan Quo Vadis Indonesia 2004 itu, Ishak menyatakan itu pertanyaan yang biasa ditanyakan pada bangsa yang lagi mengalami krisis. Saat itu ia menilai Indonesia lagi mengalami krisis kepercayaan diri. Dengan begitu kalau sekarang masih dipertanyakan, apakah para yang bertanya itu masih menganggap bangsa ini masih mengalami krisis itu ?
Apakah sekiranya Ishak masih bersama kita ia juga masih menilai demikian, atau justru krisis yang lain lagi yang barangkali lebih krisis ? Menganggap Indonesia berputar-putar tak tentu tujuan sejak 15 tahun lalu ? Quo vadis sebenarnya Indonesia ini ?
Alwy Rahman menanggapi bahwa pertanyaan Quo Vadis itu adalah pertanyaan retorik yang tidak memerlukan jawab.
Aslan Abidin menimpali bahwa pertanyaan itu harus dianggap ditujukan kepada masing-masing kita secara personal (yang terakumulasi menjadi bangsa) bukan kepada Indonesia (sebagai negara).
Sedangkan Yonggris menarik kesimpulan bahwa tulisan-tulisan dalam buku itu adalah jawaban atas pertanyaan Quo Vadis Indonesia itu.
Menarik sekaligus getir dalam acara itu adalah kesaksian-kesaksian yang terungkap terutama untuk hal-hal yang tergolong “economic under cover” rumah tangga beliau, juga ketabahan sekaligus support isteri kepada Ishak. Betapa ia senantiasa ber pete-pete, karena keterbatasannya. Betapa ia kebingungan ketika mahasiswanya yang ingin berbuat baik memanggilkan taksi, tapi tak ada uang taksi padanya.
Betapa ia membawakan ole-ole bagi isterinya kantong paska seminar, lalu bertanya apakah ada amplop, dan isteri menjawab yang ada hanya buku. Ia juga cerita pada isterinya betapa ia kadang melambat-lambatkan diri ketika pamit kepada panitia, tapi tak ada amplop diberikan.
Ada juga cerita selesai acara ia dapat amplop, tapi rupanya berisi undangan acara untuk malam harinya. Dan kepada isterinya, wanita Bugis yang tabah dan sabar, ia memberi nasihat bahwa ia memerlukan pasar untuk ide-idenya, dan seminar-seminar itu adalah pasarnya, yang diiyakan oleh sang isteri.
Yang luar biasa adalah respon seorang milenial bercadar dan berbaju hitam. Bahwa ia merasa bersesama dengan Ishak karena ia juga ber-pete-pere. Dan bahwa pada salah satu episod pete-pete dimana ia hanya berdua dengan seorang ibu yang tiada ia kenal curhat padanya tentang anaknya yang bengal.
Dan ibu itu ternyata beragama nasrani, yang menurutnya lebih bisa menerimanya, ketimbang rekan-rekan milenial berhijab di kampusnya yang mengasingkan dirinya. Tanggapan yang mendemonstrasikan pemikiran Ishak tentang akseptansi (yang tidak sekedar toleransi) dan hidup bersesama (yang bukan sekedar bersama), sebagaimana diutarakan Yonggris.
Saya bersyukur bisa menghadirinya. Mendengar kesaksian dan obituari dari para panelis dan pembicara. Memperoleh bukunya. Mengenal lebih jauh Ishak Ngeljaratan. (*)