Obituri Jusuf Manggabarani, Menerobos Jalan Blokade Malam di Labakkang

Oleh M. Dahlan Abubakar

“Innalillahi wainna ilaihi rajiuun”. Telah berpulang Komjen Pol. Drs. (Purn) Jusuf Manggabarani, Selasa (20/5/2025) di Pusat Jantung Terpadu RSUP Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Pria kelahiran Gowa, 11 Februari 1953 itu meninggal dalam usia 72 tahun.

“Jenazah tidak mampir di kamar jenazah, tetapi langsung menuju Bukit Khatulistiwa, Daya, Makassar, kediaman almarhum,” tulis TribunTimur.com yang saya kutip.

Menyebut nama Jusuf Manggabarani, saya teringat pada tiga kejadian yang selalu terpendam di dalam memori saya sebagai wartawan. Saya sebenarnya tidak ‘ngepos’ di Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) atau pun Poltabes Ujungpandang, tetapi kerap dikerahkan meliput jika ada hal-hal yang sedikit darurat.

Sidak Tengah Malam

Pertama, ketika Irjen (dulu Mayjen) Pol I Gusti Made Putra Astaman, yang karib disapa Putra Astaman, menjabat Kapolda Sulselra (1986-1988), Jusuf Manggabarani menjabat Komandan Satuan Brimob Polda Sulselra. Sekali waktu tersiar dalam pemberitaan media, di Labakkang Pangkep setiap malam sering terjadi penghadangan terhadap kendaraan umum yang mengantar penumpang ke beberapa desa di kecamatan itu. Ini terutama ditujukan kepada bus penumpang yang trayek jarak jauh yang menurunkan penumpang di daerah itu.

Mendengar informasi ini, Kapolda Sulselra Putra Astaman, pria yang dilahirkan di Bali 18 Juni 1938 dan berpulang di Jakarta dalam usia 82 tahun 13 November 2020, ingin melakukan inspeksi mendadak (sidak). Hanya terdapat dua kendaraan ‘preman’ -- yang ditumpangi Kapolda dan Dansat Brimob -- ikut dalam perjalanan sidak yang dimulai dari Ujungpandang pukul 00.00 itu.

Saya -- jika tidak salah -- satu-satunya wartawan yang ikut dalam sidak ini. Tidak tahulah kalau ada yang ‘nebeng’ di mobil yang membawa Pak Putra Astaman. Saya duduk berhadap-hadapan di bagian belakang mobil CJ-7 yang ditumpangi Pak Jusuf Manggabarani.

Sepanjang perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata, saya tidak pernah nyaman duduk. Pasalnya, tempat duduk yang berhadap-hadapan itu tidak berbusa. Jadi pantat itu bersandar di atas besi rata bodi mobil. Pantat terasa sakit jika roda belakang mobil melabrak jalan aspal berlubang.

Tidak ada seorang pun personel polisi di Pos Polisi Mandai, saat kami melintas. Kendaraan tetap berjalan. Di Maros konvoi dua kendaraan ini melintas di jembatan baru. Tidak melalui jembatan lama yang di dekatnya ada Kantor Polres Maros. Di Pangkep pun kendaraan kami terus meluncur menuju sasaran.

Mobil yang saya tumpangi bersama Pak Jusuf Manggarabani berada di depan, sebagai penunjuk jalan. Pada jalan ke barat di sebelah kiri poros Makassar-Parepare di Labakkang, Pak Jusuf Manggabarani memerintahkan sopir banting kiri. Pada ruas jalan pertama, kembali sopir berbelok kiri. Mobil bergerak pelan. Baru sekitar 200 m kendaraan meluncur, Pak Jusuf Manggabarani memberi tahu sopir agar menghentikan kendaraan.

Disorot lampu mobil dari jauh tampak beberapa orang berdiri di dekat jalan yang sudah diblokade dengan batang bambu. Jelas kendaraan tidak dapat melintas.

“Oh.. mungkin ini model praktik aksi penghadangan kendaraan yang diberitakan di media itu?!,” saya membatin.
Mengenakan jaket kulit hitam membungkus baju dalamnya dengan celana cokelat, Pak Jusuf Manggabarani melompat dari pintu sebelah kiri kendaraan yang kami tumpangi. Hampir bersamaan dengan Pak Putra Astaman muncul dari belakang didampingi ajudan.
Melihat segelintir orang yang “dengan gagah berani” menenteng parang panjang di tangan, kedua anggota Bhayangkara ini langsung menemui warga yang menjaga blokade jalan, Mereka berdiri bagaikan patung. Saya menduga, mungkin Pak Jusuf Manggabarani sudah “melepaskan” ilmu “paku bumi”-nya, sehingga objek hanya berdiri kaku, sebelum didekati.

Tidak ada dialog yang terjadi, karena warga agaknya mengenali siapa sosok Pak Jusuf Manggarabani yang kabarnya ada turunan Labakkang. Pak Putra Astaman kemudian ‘menasihati’ warga agar membiarkan setiap kendaraan boleh melintas dan tetap melaksanakan ronda jika terjadi gangguan keamanan. Nasihat Pak Putra Astaman ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Makassar oleh Pak Jusuf Manggabarani,
Warga kemudian dengan kesadaran sendiri menyingkirkan batang bambu yang melintasi ruas jalan yang beraspal. Setelah menepuk bahu beberapa di antara warga, kami pun balik kanan. Kembali ke Ujungpandang. Hari sudah menjelang subuh, saya langsung pulang ke rumah setelah diturunkan Pak Jusuf Manggabarani di Jl. Arief Rate, kantor Harian “Pedoman Rakyat”.

Bercak Darah di Tangan

Kedua, setelah menjabat Kasat Sabara Poltabes Ujungpandang 1985, Pak Jusuf Manggabarani menjabat Kapoltabes Ujungpandang. Pada saat dia menjadi orang nomor satu kepolisian di Ujungpandang, konon kabarnya, banyak penjahat kambuhan yang lari meninggalkan kota ini karena takut berhadapan dengan Jusuf Manggabarani.

Sekali waktu, kami akan mengadakan rapat Pengurus Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) Sulsel di Gedung Olahraga (GOR) Mattoanging. Pak Jusuf Manggabarani termasuk salah seorang pengurus inti. Saya seperti biasa, di posisi Seksi Humas dan Publikasi. Sekretaris Umum adalah Abdul Kadir Buloto, pria asal Gorontalo yang entah berapa Kapolda Sulselra tidak pernah diganti di posisinya ini.

Hari itu, Pak Jusuf Manggabarani muncul menjelang rapat dimulai. Saat dia muncul, saya yang berdiri di pintu masuk GOR melihat di salah satu bagian tangannya (di bawah lengan yang tidak tertutup baju dinas lengan pendek yang dikenakannya) ada bercak merah.

“Komandan, ada bercak merah di tangan Komandan?,” dasar wartawan (memang harus) selalu “kepo’, melontarkan pertanyaan.
“Saya habis ‘guling’, preman di Pampang,” jawabnya singkat, kemudian meneruskan langkahnya menuju lokasi rapat di bagian dalam GOR Mattoanging.

Penasaran dan tak puas dengan jawaban singkat Pak Jusuf Manggabarani, saya langsung merapat ke ajudannya. Dari ajudan saya memperoleh informasi, ketika melintas di depan Universitas Bosowa (sekarang), Pak Jusuf Manggabarani melihat ada keributan anak-anak yang bermain bola di sebuah lapangan kecil. Ternyata beberapa ‘preman’ Pampang mengacaukan situasi anak-anak yang bermain bola.

Mengetahui kejadian itu, Pak Jusuf Manggarabani langsung merangsek ke lapangan. Dia membekuk beberapa ‘tersangka’ yang membuat onar dan memberinya pelajaran lalu menuju ke tempat rapat, setelah personel Polsek setempat segera membereskan para pengacau situasi.
Gaya-gaya Pak Jusuf Manggarabani yang seperti ini membuat banyak orang yang biasa berulah di Kota Ujungpandang menjadi keder. Bahkan ada seorang dedengkot kelompok suporter PSM Makassar mengancam akan membuat rusuh salah satu laga kandang PSM jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

“Anda jual, saya beli. Silakan!,” kata Pak Jusuf Manggabarani diplomatis tetapi itu menunjukkan dia sudah siaga satu menghadapi situasi.

Laga PSM itu berjalan aman. Jusuf Manggabarani mau digertak?

Penuhi janji mundur

Ketiga, ketika menjabat Kapolda Sulsel di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Dibyo Widodo (15 Maret 1996 s.d.28 Juni 1998) di era terakhir Presiden Soeharto, Pak Jusuf Manggabarani menjabat Kapolda Sulselra. Pada tahun 1996 Menteri Perhubungan mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif angkutan kota. SK Gubernur Sulsel dan SK Wali Kota Ujungpandang pun keluar merespon kenaikan tarif tersebut. Angkutan kota untuk umum naik dari Rp 300 menjadi Rp 500 per kepala. Untuk mahasiswa Rp 200.
Meskipun tarif angkot masih terbilang murah, namun mahasiswa merasa tarif Rp 500 itu sangat membebani masyarakat umum di tengah negara sedang mengalami situasi imbas krisis pangan yang terjadi tahun 1992. Tidak ada pilihan lain. Begitu tuntutan tidak dipenuhi, mahasiswa turun ke jalan.
Demo pertama pecah di depan Kantor Gubernur Sulsel 22 April 1996, bertepatan dengan Zainal Basrie Palaguna yang baru tiga tahun menggantikan A.Amiruddin (alm.) sebagai gubernur, sedang menunaikan ibadah haji. Wali Kota Ujungpandang Malik Baso Masry pun sedang ke tanah suci.
Tak ada yang menerima, mahasiswa bergeser ke depan Kampus UMI. Aksi membakar ban (pertama kali terjadi) diikuti penutupan jalan pun terjadi. Arus kendaraan melintas tertahan dan macet total
Keesokan hari, 23 April 1996, mahasiswa berdemo lagi. Satu unit mobil DAMRI (bertingkat yang disebut ‘kandang puyuh’) jadi sasaran. Mobil yang melayani warga kota dari Pasar Sentral ke Daya (pp) ini dipaksa memalang Jl.Urip Sumoharjo, di depan kampus UMI. Arus lalu lintas terhalang lagi.
“Dialog yang berlangsung hingga sore antara mahasiswa dengan aparat keamanan tidak menghasilkan titik temu,” tulis detikSulsel 24 April 2022.
Aparat keamanan pun menerobos masuk kampus UMI. Gas air mata pun ditembakkan. Mahasiswa yang ditemukan dan ditangkap dipukuli selama aksi satu jam ini. Bentrokan fisik sporadis antarmahasiswa dengan aparat tak terhindarkan. Saat mahasiswa mundur ke belakang kampus, 20 orang teman mereka dibekuk. Mereka digiring meninggalkan kampus dalam keadaan luka-luka.
Pada tanggal 24 April 1996, pecah demo lagi. Mobil pengangkut sampah yang dengan ‘lugu’ melintas di depan kampus UMI jadi sasaran mahasiswa. Diguling. Suasana kian memanas. Menjelang magrib aparat keamanan pamit dari dalam kampus UMI, tetapi menyisakan sejumlah personel lainnya siaga di depan kampus.
Bersamaan dengan masuknya malam, tersiar kabar dari warga, ada beberapa mahasiswa terjun ke sungai Pampang menyelamatkan diri saat dikejar aparat. Ironisnya, mereka itu tidak muncul-muncul ke permukaan. Waktu terus bergulir, pada pukul 18.15 Wita -- masih menurut detikSulsel yang saya baca -- ditemukan seorang mahasiswa yang sekarat dan segera dilarikan ke Rumah Sakit 45 (RS Ibnu Sina sekarang). Korban ini tidak dikenal karena identitasnya tidak ada di pakaiannya.
Pada saat itu tersiar kabar dan teridentifikasi, tiga mahasiswa meninggal dalam kasus, yang kemudian dikenal dengan nama April Marasiswa Berdarah (Amarah) dan diperingati setiap tahun sejak 1997 tersebut. Pada tanggal 26 April 1996 di bawah pimpinan Kapolda Sulsel Irjen Pol. Jusuf Manggabarani, aparat menguasai situasi di kampus.
Pemberitaan kasus UMI ini marak di media. Sebagian besar media di Ujungpandang menyebut Jusuf Manggabarani bertanggung jawab atas insiden ini dan akibat yang ditimbulkannya. Mahasiswa kemudian menyuarakan tuntutan baru. Kapolda Jusuf Manggarabani harus turun dari jabatannya.
Jusuf Manggarabani yang dikenal “warani” itu tidak tinggal diam. Dia ke lapangan yang masih diwarnai dengan aksi demo dan pembakaran ban di Jl.Urip Sumoharjo, Dia masuk ke kampus UMI dan menemui para aktivis, Dialog pun terjadi, Jusuf Manggarabani menegaskan, dia siap mundur dari jabatannya asalkan blokade jalan diakhiri agar masyarakat luas dapat beraktivitas kembali. Dia juga menegaskan, anggotanya yang terlibat dalam kasus itu diproses sesuai jalur hukum.
Malam hari setelah Jusuf Manggabarani masuk kampus itu, saya merangsek ke rumah jabatan Kapolda Sulsel di Jl. Mappaoudang, kali kedua saya menyambangi kediaman orang nomor satu Polri di Sulsel ini, setelah pertama kali saat Putra Astaman menjabat Kapolda Sulselra (1986-1988). Suasananya biasa saja, tidak ada yang berubah di rumah jabatan tersebut. Sebelum malam hari itu, dia sudah memenuhi janjinya. Blokade jalan sudah dibuka, dia pun mengundurkan diri sebagai Kapolda Sulsel. Dia memenuhi janjinya.
“Jusuf Manggabarani, ‘enjoy’ dan ‘happy’ sebagai seorang Tri Brata dengan jiwa Bhayangkara. Ia hijrah ke ibu kota negara, Jakarta dan berkembang di dalam lingkungan Mabes Polri. Sepanjang tahun 2009 s.d. 2011 menjabat Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia hingga purnabakti,” tulis Nur Iskandar dalam Biografi Jusuf Manggabarani “Cahaya Bhayangkara” (2011) yang diterbitkan PT Borneo Tribune Press.
Selamat Jalan Jenderal, terlalu banyak pelajaran hidup bagi kami yang akan menyusul kepergianmu!. (Makassar, 20 Mei 2025)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN