Farid Mamma, SH, MH : Revisi UU ITE, Reformasi Pasal 27, Harapan Kebebasan atau Alat Represi ?

SOROTMAKASSAR - MAKASSAR.

Di tengah maraknya era digital, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali mendapat sorotan sebagai pedang bermata dua. Revisi terhadap Pasal 27, yang sering disebut “pasal karet”, kini telah dilakukan melalui UU No. 1 Tahun 2024.

Namun, pertanyaannya adalah apakah perubahan ini benar-benar menguatkan kebebasan berekspresi atau justru membuka jalan bagi pengekangan kritik ?

Farid Mamma, SH, MH, Direktur Pusat Kajian Advokasi dan Anti Korupsi (PUKAT) Sulsel, Senin (17/3/2025) menjelaskan, sebelum revisi, Pasal 27 melarang penyebaran informasi elektronik yang mengandung muatan pelanggaran norma kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman.

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berakibat hukuman penjara hingga 6 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar.

Ia menambahkan, bagian ayat (3) dari Pasal 27, yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, telah lama menuai kritik karena dianggap memiliki tafsir yang luas dan rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berbicara.

Senjata Ganda dalam Pengekangan Kritik

Menurut Farid, ayat tersebut telah dimanfaatkan oleh pihak berwenang untuk membungkam para kritikus.

“Pasal ini ibarat pedang bermata dua, meskipun seharusnya berfungsi untuk melindungi, kenyataannya lebih sering dipergunakan untuk menyerang mereka yang menyuarakan pendapat,” ujarnya.

Ia menyoroti, pasal tersebut memiliki beberapa kekurangan, seperti pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, pelanggaran terhadap prinsip konstitusi dan HAM, serta kekaburan definisi unsur penghinaan dan pencemaran nama baik yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Hal ini, menurutnya, membuka peluang bagi penerapan hukum yang berlebihan, khususnya terhadap jurnalis dan aktivis.

Farid juga menilai, tumpang tindih dengan KUHP membuat penerapan UU ITE menjadi kurang efektif dan rawan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.

Bahkan, kritik terhadap pemerintah yang disampaikan melalui media sosial pun bisa berujung pada tuntutan pidana.

Perubahan dalam UU ITE : Pembagian Pasal 27

Lanjut Farid, dalam UU No. 1 Tahun 2024, Pasal 27 telah dirombak dan dibagi menjadi dua pasal, yakni 27A dan 27B.

Pasal 27A mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik secara elektronik dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun penjara dan denda Rp 400 juta.

Sementara itu, Pasal 27B ditujukan untuk kasus pencemaran nama baik yang berkaitan dengan pemerasan, dengan ancaman hukuman hingga 6 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Meski demikian, Farid mengkritisi, penurunan sanksi pidana tersebut tidak serta merta menjamin peningkatan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.

Menurutnya, revisi ini masih menyisakan celah yang memungkinkan terjadinya kriminalisasi atas kritik yang disampaikan secara sah.

Revisi yang Dinilai Hanya Perubahan Permukaan

Farid berpendapat, perubahan yang dilakukan hanya bersifat kosmetik. Pasal 27A dan 27B masih memungkinkan pihak berwenang untuk mengkriminalisasi tindakan kritik yang ditujukan pada pejabat atau kebijakan publik, sehingga jurnalis, aktivis, maupun masyarakat umum tetap berisiko terkena sanksi hukum.

Ia menekankan, untuk melindungi kebebasan berbicara, perlu ada pemisahan yang jelas antara kritik yang konstruktif dan penghinaan yang tidak berdasar.

Uji Coba Revisi di Makassar

Kasus dugaan pencemaran nama baik di Makassar menjadi salah satu contoh penerapan revisi UU ITE. Seorang guru honorer, yang dikenal dengan inisial IMS, bersama sebuah media online diduga telah menyebarkan berita fitnah dan melakukan pemerasan terhadap anggota DPRD Makassar yang disapa AM.

Menurut Kasman, juru bicara AM, pihaknya akan menempuh jalur hukum dengan membawa bukti-bukti dugaan pemerasan dan fitnah.

Farid menegaskan, jika terbukti ada unsur pemerasan, maka seharusnya Pasal 27B diterapkan. Namun, jika yang terjadi hanyalah pencemaran nama baik dalam pemberitaan, hal tersebut justru menunjukkan bagaimana UU ITE masih dapat dijadikan alat untuk mengekang kebebasan pers.

Di sisi lain, kuasa hukum AM, Fadly, SH, MH yang menggugat media online, dinilai belum memahami, media memiliki hak konstitusional untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan.

Menurut Farid, Pasal 27B yang telah direvisi justru mengecualikan media dari kategori pelanggaran, sehingga AM sebaiknya menggunakan hak jawab di media sebagai solusi penyelesaian sengketa, daripada langsung menggugat secara hukum. Ia juga menyoroti, Kasman tidak memiliki wewenang hukum untuk mewakili AM dalam konteks ini.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Meski revisi UU ITE memberikan beberapa perubahan, Farid Mamma menilai, hal tersebut belum mampu mengatasi perdebatan yang telah lama berlangsung mengenai kebebasan berekspresi.

Ia menekankan pentingnya keberadaan sistem peradilan yang adil dan transparan agar aturan baru ini tidak justru menjadi perangkap bagi masyarakat.

“Kita memerlukan peraturan yang jelas dan tidak diskriminatif dalam penerapannya. Jika tidak, UU ITE akan terus berperan sebagai alat represif di ranah digital,” tegasnya.

Dengan masih adanya celah hukum yang membayangi, Farid mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial.

Sementara itu, ia menuntut agar pemerintah dan DPR tidak hanya melakukan revisi, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk melindungi kebebasan berpendapat di Indonesia. (Hdr)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN