Kompetisi Ketenagalistrikan, Sudah Saatnya Teraplikasi

SOROTMAKASSAR -- Makassar

Penetrasi energi terbarukan dalam deregulasi sistem ketenagalistrikan, jelang era industri 4.0, menuntut seluruh sektor untuk berkompetisi, termasuk kompetisi di sektor ketenagalistrikan. Kompetisi mulai dari sektor pembangkitan, sektor transmisi, hingga sektor distribusi.

Demikian disampaikan, Dr.Ir.H. Syarifuddin Nojeng, MT, saat ditemui di ruang kerjanya, usai menjadi pemateri di kegiatan Seminar Nasional di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Senin (26/11/2018) siang.

Doktor bidang Sistim Tenaga Listrik dan Deregulasi Sistim itu mengatakan, bila melihat industri penyediaan tenaga listrik di dunia, di era tahun 1960-an, Chili merupakan negara yang pertama kali melakukan deregulasi di semua sektor ketenagalistrikannya. Kala itu, telah ada perusahaan penyedia listrik, perusahaan transmisi serta perusahaan yang menangani distribusi. Selanjutnya, diikuti Inggris di tahun 1980-an.

Sedang hingga sekarang ini, Indonesia masih menganut deregulasi liberalisasi dibidang pembangkitan. Karena belum termasuk sektor transmisi dan distribusi.

"Jadi, pemilik transmisi dan distribusi, masih di tangan PLN. PLN yang membeli ke perusahaan pembangkit lain, kemudian menyalurkan atau menjual kembali ke pelanggan. Sedang yang namanya deregulasi, PLN tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam membeli atau menjual, tapi ada pemain lain selaku kompetitor," ungkapnya.

Kemudian, katanya, dengan adanya kompetisi, pastilah harga akan kompetitif. Artinya, perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor transmisi dan distribusi, akan memberikan pelayanan yang memuaskan, pelayanan yang prima dan bagus. Sehingga konsumen selaku pungguna, akan tertarik untuk menggunakan fasilitas transmisi yang diberikan perusahaan tersebut.

"Karena mereka menganggap nantinya, tidak akan ada lagi pemadaman," tegasnya.

Dr.Ir.H. Syarifuddin Nojeng, MT (tengah)

Bila demikian, lanjutnya, pelanggan akan mencari distributor ketenagalistrikan yang memiliki kontinuitas energi listrik yang kontinyu, meski harganya agak mahal. Meski demikian, penjaminan terhadap ketersediaan tanpa ada jeda waktu.

"Konsumen akan tersuplay listriknya secara terus-menerus. Dan bila suatu saat tidak sesuai yang diharapkan, atau tidak terdistribusi, maka akan ada komponsasi dari pihak perusahaan ke penggunanya. Itulah yang namanya persaingan di sektor industri ketenagalistrikan," paparnya.

Kondisi demikian, jelas Syarifuddin, pelanggan yang telah pandai melihat kondisi, pasti akan memilih perusahaan-perusahaan yang mampu memberikan fasilitas, ketersediaan energi dan kualitas daya yang memuaskan. Baik dari sisi tegangan maupun frekuensinya.

"Dengan kondisi ini, PLN nantinya mau tidak mau, akan ikut berkompetisi, karena adanya pesaing yang lain," ujarnya.

Sehubungan dengan penerapan EBT yang ramah lingkungan, Wakil Dekan I Fakultas Teknik ini mengatakan, tentu saja yang menggunakannya atau yang membeli listri dari penyedia, akan membayar atau membeli listrik jauh lebih tinggi. Sebab, dianggap ramah lingkungan dan tidak sama dengan energi fosil.

Kemudian nantinya, investor nantinya akan berminat berinvestasi di sektro EBT, karena memiliki nilai harga jualnya yang tinggi.

"Itulah poinnya. Bila investor yang membangkitkan EBT memperoleh insentif dari PLN, jauh lebih tinggi dibanding energi listrik batu bara atau energi fosil lainnya, karena dianggap ramah lingkungan, maka akan banyak investor yang tertarik untuk masuk membangun di sektor EBT," harapnya

Menyangkut harga pemanfaatan EBT yang sudah mulai membaik dari sisi investasi, Syaripuddin mengatakan, belum cukup kompetitif untuk dijadikan sebagai lahan investasi. Karena, break even point itu cukup lama. Artinya, masa pengembalian modal investor jauh lebih lama dibanding bila pengusaha tersebut berinvestasi di sektor non EBT seperti batu bara.

"Bila di sektor pembangkit listrik batu bara, investor mungkin bisa break even point di posisi 10 hingga 15 tahun. Namun untuk sektor EBT, mungkin akan mencapai waktu hingga 30 tahuan. Jadi, jauh lebih cepat fosil dibanding EBT," ungkapnya.

Persoalannya mahalnya investasi, membuat banyak investor yang belum berkeinginan berinvestasi di sektor pembangkitan EBT. Kecuali, bila ada investor yang tidak lagi memiliki alternatif lain untuk menginvestasikan uangnya, mungkin akan masuk sektor EBT. Namun bila bertujuan untuk mencari keuntungan, pasti banyak investor akan berfikir dua kali untuk masuk ke sektor EBT.

"Untuk itu, diharapkan pemerintah agar makin menaikkan harga jual di sektor EBT. Sehingga, investor akan kembali bergairah untuk berinvestasi," jelasnya.

Salah satu bagian sistem ketenagalistrikan di Indonesia (illustrasi : Sumber pihak ketiga)

Maka, dengan deregulasi, kata sSyarifuddin, seharusnya pemerintah sebagai pemilik regulasi dan sebagai regulator, serta PLN sebagai operatornya, harus punya aturan main. Jadi, sudah saatnya pengambil kebijakan harus berfikir, bagaimana investor yang mau berinvestasi kembali bergairah, mulai dari sektor pembangkitan, transmisi, hingga distribusi.

Bila semua sudah bergairah, akan timbullah kompetisi pasar. Pasalnya, perkembangan industri ke depan, akan mengarah ke sistem kompetisi di semua sektor ketenagalistrikan. Sebagaimana dicontohkan, di negara eropa, telah ada investor yang bermain di sektor transmisi. sehingga, antara pembangkit dengan beban (daerah industri), akan memilih transmisi mana yang akan digunakan, dengan melihat harga serta kualitas daya yang diberikan.

Selanjutnya di sektor distribusi, bila ada investor atau perusahaan distribusi yang mampu memberikan pelayanan yang lebih memuaskan dengan harga jual yang lebih kompetitif, pastilah pelanggan akan melihat yang terbaik.

"Itulah yang dikatakan deregulasi dan investasi di sektor ketenagalistrikan. Bila hal tersebut dilakukan dan terjadi kompetisi, PLN pasti berupaya memperbaiki sistemnya. Sebab bila tidak, pasti akan kalah bersaing dengan kompetitor lainnya. Bahkan, Persoalan black out yang mungkin akan kembali terjadi, bila ada deregulasi, hal itu tidak akan terjadi. Sebab ada kompetitor lain yang akan mengisi kekosongan kondisi black out itu," tegas Syarifuddin. (zl)