Warung Makan Ina Sei, Viral di Bima : Modal dari Bupati Tersimpan Hingga Kini (Bagian 6 - Habis)

Laporan M. Dahlan Abubakar

PADA tahun 2014, Midun masih ingat, Bupati H. Ferry Zulkarnain, ST (almarhum) pernah memberikan modal usaha Rp 500 ribu. Kebetulan Ferry Zulkarnain mampir pada saat Ina Sei hanya menyediakan ikan bakar tanpa nasi. Tetapi waktu itu, lokasi berjualannya di sebelah timur lokasi yang sekarang.


Yang membanggakan Midun, para kepala sekolah yang datang membeli ikan, duduk bersandar di pondok dan saung Ina Sei. Ada potongan kayu yang hingga sekarang masih disimpan Midun, di situlah almarhum Ferry Zulkarnain kerap duduk dan bersandar. Kayu itu sudah puluhan tahun bersama Warung Ina Sei.

“Ini untuk tambah modal, jual juga nasi, jangan hanya ikan saja,” pesan Ferry Zulkarnain.

“Jangan, Ajie, jangan...,” Ina Sei berusaha menolak pemberian almarnum Ferry Zulkarnain, Namun akhirnya diterimanya juga karena menganggap ini boleh jadi rahmat dan berkah awal bagi usahanya. Mungkin ini awal rezeki yang akan diperoleh nanti.

Setelah Ferry Zulkarnain memberikan modal dan berpesan agar juga menjual nasi, Ina Sei pun mulai menjual nasi. Tidak hanya ikan. Pada waktu itu Ina Sei tidak menolak menerima uang sebanyak itu. Pasalnya, almarhum menikmati ikan yang menurut Midun tidak sebanding dengan dengan banyaknya uang diberikan. Uang itu terlalu banyak. Yang lucu, kata Midun, uang pemberian Ferry Zulkarnain tersebut hingga sekarang masih utuh dan tersimpan baik.

“Masih disimpan hingga sekarang karena diserahkan langsung oleh tangan Ferry Zulkarnain,” kata Midun yang kini berusia 54 tahun.

Suatu waktu Ina Sei mengajak Midun agar pindah lokasi dari tempat yang lama ke lokasi yang sekarang. Ternyata di belakang hari, Midun baru mengetahui kalau lokasi baru itu istrinya sudah beli. Midun sama sekali tidak tahu. Soalnya, semua uang dipegang oleh Ina Sei. Dia juga tidak pernah bertanya sama sekali tentang ikhwal pembelian tanah tersebut. Ina Sei-lah yang menjadi bendahara usaha ini. Lokasi baru ini dibeli sekitar 7-8 tahun, setelah tahun 2014, saat Ferry Zulkarnain mampir.

Dari hasil bisnis warung makan ini, Ina Sei dan Midun selain mampu menyediakan rumah bagi anak-anaknya, juga memiliki tiga unit mobil. Satu unit Innova yang sudah dijual dan sebuah Honda CRV yang masih setia dan digunakan Ina Sei dan keluarganya. Sebuah kendaraan lainnya, pick up, yang digunakan untuk operasional mengangkut ikan yang jadi bisnisnya.

Usai wawancara, penulis mendaulat pasangan Saodah-Gumri dijepret menggunakan gawai dan kamera Canon yang selalu menyertai perjalanan jurnalistik penulis. Kedua pasangan ini memilih duduk di atas sebuah vespa tua yang tampaknya tidak berfungsi lagi. Di latar belakang tampak baliho “dr.Ina Sei, Sp.PL (Spesialis Penyakit Lapar), Buka Setiap Hari, Kecuali Hari Kiamat LIBUR”.

Matahari dalam beberapa puluh menit lagi akan tiba di “peraduan”-nya, saat pukul 17.17 Wita, dua kendaraan yang mengitari lintasan jalan Bima Timur, Kanca-Karumbu-Sape-Wera-Kota Bima-Kanca dengan jarak tempuh total 258 km mulai bergerak. Dalam catatan penulis, jarak Kanca-Ina Sei 147 km, saat kami tiba pukul 15.49 Wita, setelah meninggalkan Kanca, tanah kelahiran penulis pada pukul 09.20 Wita.

Ini sebuah perjalanan biasa bagi orang lain, petualangan jurnalistik bagi penulis yang sudah lama merindukan merambah rute mengesankan ini.

Penulis juga bersyukur dari saung Ina Sei di Pantai Mantau Nanga Wera di pesisir utara Kabupaten Bima dapat mewawancarainya dan disiarkan langsung melalui sambungan telepon via gelombang Radio Republik Indonesia (RRI) Makassar. Penulis selalu melakukan siaran langsung seperti ini karena pernah menjadi “penyiar” setiap malam Minggu di RRI Makassar selama bertahun-tahun antara 1983-2000. Kini, menjadi kontributor tetap Lembaga Penyiaran Publik (LPP) tersebut. Boleh jadi, ini pertama kali Ina Sei diwawancarai langsung melalui telepon dan disiarkan melalui Lembaga Penyiaran Publik tersebut. (*)