SOROTMAKASSAR -- Makassar
Terdapat beberapa kecenderungan, kalangan arsitek sekarang ini, ingin menancapkan konteks desain lokal pada konteks modern. Tapi sebenarnya, yang terbaik justru mengambil bagian lokalnya, bisa teknologi, material, warna, pola, bentuk, ide dan sebagainya, untuk diterapkan dalam arsitektur modern.
Pendapat itu dikemukakan Guru Besar Universitas Brawijaya Malang Bidang Sejarah dan Pelestarian Arsitektur, Prof. Ir. Antariksa, MEng, PhD, sesaat sebelum memberi Kuliah Umum dan Archi Build Tech Expo2 kepada mahasiswa Program Studi (Prodi) Arsitektur Universitas Muslim Indonesia (UMI), di Auditorium Al-Jibra UMI, Selasa (17/09/2019) siang tadi.

Dalam kegiatan yang bertema Arsitektur lokal di tengan pengaruh global, Ren Katili, Principal Architect at Studio Arsitektropis, turut ambil bagian dalam berbagi pengalaman di bidang Arsitektur, khususnya arsitektur tropis.
Antasari mengutarakan, konteks desain masa lalu jangan disadur seutuhnya, untuk digunakan dimasa sekarang, karena ruang waktunya sudah berbeda.
"Inilah yang perlu dipahami para arsitektur ataupun mahasiswa, bahwa jangan mengcopy masa lalu. Tetapi, mengambil apa yang ada di masa lalu untuk bisa ditumbuh kembangkan sekarang ini," terangnya.
Dilanjutkan, dari dulu, kita telah mengenal dan melestarikan batu bata, bambu, serta batu, sekarang semua itu telah dituangkan dalam bentuk lain.
"Bukan fisiknya masa lalunya yang dipindahkan ke masa sekarang, karena konteks waktu dan ruangnya berbeda. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, karena peradaban terus juga berjalan, demikian halnya dengan teknologi," paparnya.
Dicontohkan, pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit, mereka memiliki teknologi, budaya, dan politiknya sendiri. Selanjutnya terjadi pergeseran pada masa pemerintahan Hindia Belanda, karena teknologi, politik, dan budayanya semakin berkembang, maka konteks desainnya pun berbeda. Belum lagi, jika kembali ke masa awal adanya Candi Prambanan atau Candi Borobudur, maka bentuknya sesuai dengan masa itu.
"Karena itu, bentuk kondisi politik rill, dan peradabannya berjalan, akan berpengaruh. Tidak mungkin peradaban balik ke belakang lagi," ujarnya.

Jadi untuk melesatarikan kondisi tersebut, kalau dari sisi arsitek, katanya, adalah bagaimana budaya itu bisa tetap dipertahankan. Tapi temporary rifing nya bisa berkembang.
Menyangkit kearifan lokal yang baik, Antariksa menjelaskan, bila ada datang sesuatu suatu perubahan, antara kondisi lokal dan perkembangan bisa berjalan berdampingan, tidak saling tolak menolak.
"Semuanya menyesuaikan, yang bisa digunakan, kita pakai. Karena kita juga tidak bisa menolak perkembangan arsitektur modern. Misalnya, teknologi baja, beton, dan kaca. Bila kita ingin merancang atau mendisain bandara, tidak mungkin kita akan kembali menggunakan bambu atau batu bata. Itulah yang harus difikirkan untuk konteks ke depan, mulai dari teknologi, bahan, kekuatan, ketahanan, dan sebagainya, tetap menjadi bahan pertimbangan," terangnya.
Sehingga, katanya, di dalam kearifan lokal, apa yang bisa kita ambil, apa yang bisa kita tumbuh kembangkan untuk saat ini, itulah yang dipakai.
Dan bila bicara soal kearifan lokal, pada masyarakat-masyarakat tradisional di desa, ada konsep-konsep kearifan yang tidak tertulis, tapi diikuti dan ditaati masyarakat setempat hingga sekarang. misalnya, di Bali, orang tidak boleh membangun rumah lebih tinggi dari pohon kelapa.
"Hal ituitu tidak tertulis tapi di takuti. Itu berarti baik. Jadi kalau ada yang baik berkaitan dengan kearifan lokal dia akan bertahan, demikian sebaliknya," tandasnya. (zl)