Oleh : M.Dahlan Abubakar, Tokoh Pers versi Dewan Pers
Masih ingat dengan Pinangki Sirna Malasati? Perempuan cantik yang bekerja sebagai jaksa dan terkait dengan kasus Djoko Tjandra dan menjadi layar kaca beberapa waktu lalu? Alih-alih kasusnya akan berbuntut dengan tuntutan hukuman maksimal, justru vonisnya dipangkas sampai 60% dari vonis yang diganjar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, 8 Februari 2021.
Pembacaan putusan vonis terhadap Jaksa Pinangki memang luput dari ingar-bingar pemberitaan media karena informasi mengenai Covid-19 jauh lebih mendominasi jagat pemberitaan media. Kisah pengadilan Pinangki pun sepi dari sorotan media. Nanti muncul setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukuman itu menjadi terasa sangat menghabisi rasa keadilan masyarakat.
Putusan Pengadilan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasati atas kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Adapun pemotongan hukuman tersebut diputuskan majelis hakim dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.
"Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa. Oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik," demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung (MA) seperti dilansir dari Antara, Selasa (15/6/2021) seperti diberitakan kompas.com.
Hakim juga mempertimbangkan Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan. Pertimbangan lainnya yakni Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
"Bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini," demikian yang tertulis dalam laman putusan MA seperti dilansir Kompas.com.
"Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang asas Dominus Litis yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat," lanjut tulisan tersebut. (Dominus litis menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain Penuntut Umum yang yang bersifat absolut dan monopoli, pen.)
Putusan itu diambil oleh ketua majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI terdiri atas Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik pada tanggal 14 Juni 2021.
Menurut Tempo.co, sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana sekaligus dan memvonisnya 10 tahun penjara. Alasannya, pertama, Pinangki menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra.
Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar. Pinangki juga dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking untuk menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa.
Vonis tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta agar Pinangki divonis empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Peran Pinangki sebagai makelar kasus pun terungkap ketika hakim membeberkan bukti percakapan Pinangki dengan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Percakapan antara Pinangki dengan Anita di aplikasi WhatsApp pada 26 November 2019 itu terkait kepengurusan grasi mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
Menurut hakim, percakapan itu menjadi bukti bahwa Pinangki sudah terbiasa mengurus perkara.
"Selain terkait dengan kasus Joko Soegiarto Tjandra, terdakwa sudah biasa mengurus perkara dengan bekerja sama dengan saksi Dr Anita Dewi Kolopaking, khususnya terkait dengan institusi Kejaksaan Agung dan MA,” ungkap Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto.
Hilangnya rasa keadilan
Majelis Hakim Tipikor Jakarta masih mampu mempertahankan integritasnya sebagai wasit penilai antirasuah dengan menjatuhkan hukuman maksimal terhadap Pinangki. Vonis ini juga mencerminkan bahwa Majelis Hakim Tipikor mampu memelihara rasa keadilan masyarakat yang terusik dengan sepak terjang Pinangki selaku aparat penegak hukum yang bermain api.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi ketika memutuskan vonis banding Pinangki sama sekali tidak menjadikan posisi Pinangki sebagai seorang aparat penegak hukum yang seharusnya memberi contoh yang terpuji dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai alasan dalam menjatuhkan vonis Majelis Hakim Tipikor tersebut. Apalagi yang bersangkutan adalah orang yang berada di lingkaran dalam (inner cricle) penegakan hukum di Indonesia.
Yang patut juga diacungi jempol terhadap Hakim Pengadilan Tipikor adalah vonis terhadap Pinangki yang 10 tahun itu, justru lebih tinggi dari tuntutan JPU. Ternyata, tuntutan JPU itulah kemudian yang dijadikan dasar oleh Pengadilan Tinggi DKI untuk menjatuhkan vonis. Selain masa hukuman lebih lama, juga denda yang diketuk Majelis Hakim Tipikor lebih tinggi, yakni Rp 600 juta, dibandingkan tuntutan JPU Rp 500 juta.
Membaca kasus Pinangki, saya teringat dengan OC Kaligis, advokat kondang Indonesia yang divonis 5,5 tahun penjara pertengahan Desember 2015. Hakim juga menghukum OC Kaligis dengan denda Rp300 juta subsidair 4 bulan penjara atas perbuatannya menyuap hakim dan panitera PTUN Medan. Ia dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap tiga hakim dan seorang panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
"Menyatakan terdakwa Otto Cornelis Kaligis terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi," kata ketua majelis hakim Sumpeno saat membacakan amar putusan ketika itu.
Kasus ini memang berbeda dengan Pinangki, tetapi konteksnya sama, yakni terkait urusan suap menyuap. Jika Kaligis menyuap, Pinangki justru menerima suap. Keduanya sama-sama bertanggung jawab di bidang penegak hukum. Hanya saja Pinangki sedikit berbeda karena dia aparatur penegak hukum yang terikat oleh sumpah jabatan. Tindakannya tersebut merendahkan muruah korpsnya. Sementara Kaligis adalah swasta yang tentu saja etika profesinya diatur oleh organisasinya,.
Ketua Majelis Hakim Ignasius Eko Purwanto menilai tuntutan jaksa terlalu rendah. Majelis hakim menilai hukuman 10 tahun penjara kepada Jaksa Pinangki di kasus Djoko Tjandra dianggap layak dan adil.
Di lain sisi, hukuman itu dinilai sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan oleh Pinangki dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Dalam menjatuhkan hukuman itu, hakim menyatakan keadaan yang memberatkan adalah Pinangki berstatus sebagai aparat penegak hukum. Pinangki dinilai juga berbelit-belit dalam memberikan keterangan serta tidak mengakui perbuatannya.
Adapun pertimbangan hakim meringankan Pinangki ialah bersikap sopan selama persidangan. Selain itu, Pinangki Sirna Malasari juga berstatus tulang punggung keluarga, mempunyai tanggung jawab dan belum pernah dihukum.
Alasan lain, Pinangki disebut biasa urus perkara. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Pinangki sering mengurus perkara. Hakim menyebut pengurusan perkara itu dilakukan bersama rekannya yang berprofesi advokat, Anita Kolopaking.
Hal tersebut terungkap dalam pertimbangan amar putusan untuk Pinangki yang dibacakan hari ini.
"Dalam komunikasi chat dengan menggunakan aplikasi WhatsApp antara terdakwa dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking dalam nomor urut 1 sampai dengan 14 tanggal 26 November 2019 pukul 6.13 pm-7.50 pm ditemukan percakapan Terdakwa dengan saksi Anita Dewi Anggraeni Kolopaking terkait grasi Annas Maamun," ujar Hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 8 Februari 2021.
Annas merupakan eks Gubernur Riau yang pernah terjerat kasus korupsi terkait alih fungsi lahan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada Annas pada September 2019. Pemberian grasi membuat hukuman Annas dikurangi dari 7 tahun menjadi 6 tahun penjara.
Hakim menilai percakapan tentang grasi Annas Maamun membuktikan bahwa jaksa Pinangki biasa mengurus perkara dengan Anita Kolopaking. Sehingga, pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk Djoko Tjandra (Joko Tjandra) bukan satu-satunya perkara yang pernah diutus oleh kedua orang itu.
Masalah lain yang terungkap dalam kasus Pinangki ini adalah, King maker kasus Pinangki ada, tapi tidak terungkap. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyinggung sosok King Maker dalam amar putusan untuk Pinangki Hakim menyatakan King Maker ada, tapi tak terungkap.
"Berdasarkan bukti elektronik berupa komunikasi chat menggunakan aplikasi WA yang isinya dibenarkan oleh terdakwa, saksi Anita Kolopaking, serta keterangan saksi Rahmat telah terbukti benar adanya sosok King Maker," kata Anggota Majelis Hakim, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 8 Februari 2021.
Hakim menyatakan telah berupaya menggali sosok King Maker ini dengan menanyakannya kepada Anita dan Pinangki. Selain muncul di WA, hakim mengatakan, istilah ini juga diperbincangkan oleh Pinangki, Anita, Rahmat dan Djoko Tjandra.
"Namun tetap tidak terungkap di persidangan," kata hakim seperti dilansir Tempo,co.
Melihat fenomena putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI tersebut, saya yang awam hukum dapat mengatakan, bahwa penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebenarnya justru berhadapan dengan benteng kokoh pihak internal penegak hukum itu sendiri. Hukum selalu menjadi objek multitafsir yang selalu bergantung kepada kepiawaian dan wewenang sosok dan lembaga.
Sepanjang masih terjadi perbedaan integritas, tekad, niat, dan etikat, penegakan hukum kita masih sulit dilakukan. Sama sulitnya menegakkan rambut yang basah atau meluruskan ekor kerbau.