Kedai Kopi Es Tak Kie, Sajikan Suasana Klasik Peranakan

SOROTMAKASSAR -- Jakarta.  Kegemaran minum kopi di warung atau kafe kini lagi trend mewarnai sisi kehidupan masyarakat di tanah air. Mulai di pelosok kampung hingga kota besar, kedai kopi tampak bermunculan dan tumbuh menjamur dimana-mana. Sebuah bisnis terbilang praktis dan tidak memerlukan modal terlalu besar, hanya menjual suasana, pelayanan dan kualitas citarasa kopi. Dan untuk merekrut pengunjung sebanyak-banyaknya, para pemilik usaha cenderung berlomba-lomba pula meningkatkan kemegahan tempatnya. Mulai dari penataan ruangan dan desain interiornya, sampai kelengkapan fasilitas didalamnya seperti pendingin udara (AC), jaringan wifi hingga hiburan musik.

Dengan beragam fasilitas dan sarana yang dimiliki, kita tidak perlu heran atau terkejut jika melihat sejumlah warung kopi (warkop) dijubeli pengunjung setiap harinya. Namun demikian, ada juga kedai kopi yang sejak awal dibuka sampai sekarang ini tetap eksis mempertahankan ciri khasnya dalam menyajikan suasana klasik. Meski menampilkan sebuah keadaan maupun suasana di masa silam tetapi tidak kolot atau ketinggalan zaman, toh tempat itu sangat populer dan diminati konsumen dari berbagai kalangan serta usia. Seperti pemandangan yang terlihat setiap harinya di kedai “Kopi Es Tak Kie” yang berlokasi di gang Gloria, Jln Pintu Besar Selatan III No.4-6 Glodok, Jakarta Barat.

Apa sesungguhnya daya tarik kedai “Kopi Es Tak Kie” ? Saking populernya, banyak orang dibuat penasaran dan akhirnya berkunjung kesini. Tempatnya saja berada di dalam sebuah gang sempit yang dikenal dengan nama gang Gloria. Kendati sempit, toh gang itu sudah jadi landmark bagi para pecinta kuliner, terutama kuliner klasik peranakan Cina. Nah di kedai kopi ini tidak ada AC, kursi sofa yang empuk, apalagi jaringan nir kabel sebagaimana lazimnya di warkop maupun kafe lainnya. Pengunjung yang datang minum kopi hingga menikmati makanan-makanan yang dijajakan, benar-benar disajikan suasana masa silam gaya kehidupan sederhana masyarakat keturunan Tionghoa.

Kedai kopi yang letaknya hanya beberapa meter dari bibir gang, tempatnya memang tidak terlalu besar. Di luar bangunan atau di atas pintu masuk tak ada papan nama yang megah. Bahkan bagian depannya malah tertutupi gerobak jualan makanan sekba dan bektim. Tampilannya sangat sederhana untuk ukuran sebuah usaha yang sudah berdiri sejak tahun 1927. Ketika masuk ke dalam, pengunjung pasti terkesima melihat tata ruang dan interiornya yang tak banyak berubah dari tahun ke tahun. Disini hanya ada kursi dan meja kayu serta kipas angin uzur yang tergantung di dinding atas. Sejumlah foto lawas dan beberapa poster film tampak pula dipajang menghiasi tembok ruangan.

Saat sudah berada dalam ruangan, barulah kita melihat sebuah papan usaha berukuran cukup besar yang menempel di dinding atas dapur. Papan nama itu bertuliskan “Kopi Es Tak Kie” dengan tambahan tulisan huruf Cina di bawahnya. Di dapur hanya terlihat seorang barista yang sedang sibuk meracik kopi sesuai pesanan tamu-tamu. Dengan cekatan ia menuang susu kental manis ke gelas lalu mengguyur cairan kopi hitam dari teko alumunium kemudian mengaduk sampai bercampur rata. Menu kopi ditempat ini tidak banyak macam, hanya 2 pilihan saja yakni kopi hitam dan kopi susu, pakai es atau tanpa es. Harganya pun sangat murah untuk level kedai kopi tanpa tandingan.



{gallery rows=1 cols=4 preview_width=200 preview_height=150 preview_crop=yes lightbox=boxplus/dark lightbox_thumbs=none rotator_orientation=vertical loop=off caption_position=overlay-top}kuliner/takkie{/gallery}


Biji Kopi dari Lampung
Usaha kedai kopi ini pertama kali dirintis tahun 1927 oleh seorang perantau asal Kanton, Tiongkok, bernama Liong Kwie Tjong. Awalnya hanya berbentuk warung kaki lima di seputaran Glodok. Setelah berkembang, pemiliknya memindahkan ke sepetak bangunan di gang Gloria yang dibeli tahun 1930. Sejak itulah pengelolaan kedai yang diberi nama “Kopi Es Tak Kie” dilanjutkan putranya hingga cucu-cucunya. Pemberian nama Tak Kie, berasal dari kata Tak -- orang yang bijaksana, sederhana dan apa adanya, kemudian kata Kie – mudah diingat banyak orang. Maksud dari nama tersebut, sang pendiri ingin mengajarkan kepada para penerusnya untuk selalu tampil sederhana dan kerja keras.

Tahun 1973, cucu Liong Kwie Tjong bernama Ayauw mulai memegang kendali meneruskan usaha keluarganya. Bersama saudara-saudaranya, mereka sangat kompak mengelola sampai sekarang ini. Masing-masing punya bagian tugas yang rutin dikerjakan setiap hari. Ada yang bertanggungjawab memasak kudapan, menyajikan ke pengunjung, menangani manajemen dan keuangan, serta yang mengurusi pembelian biji kopi. Ayauw alias Latif Yunus -- anak ketiga dari 9 bersaudara, bertugas memimpin operasional bisnis warisan kakeknya. Uniknya, kedai kopi itu sejak dulu hingga kini hanya buka setengah hari saja, mulai pukul 07.00 pagi dan tutup pukul 14.00 siang.

Biji kopi jenis Arabika yang digunakan di kedai ini berasal dari Lampung dan diambil melalui 5 pemasok di Jakarta. Sekali pengambilan sebanyak 10 kilogram biji kopi yang diperhitungkan untuk kebutuhan pemakaian selama 10 hari. Namun jika lagi ramai-ramainya pengunjung, jumlah tersebut bisa habis dalam waktu sepekan. Biji kopi yang telah di-roast, diproses sendiri dengan mesin pengolah kopi tradisional yang sudah dimiliki sendiri sejak puluhan tahun silam. Selanjutnya setiap subuh, bubuk kopi olahan itu diracik dan dimasak kemudian ditampung dalam panci berukuran sedang. Nanti saat kedai siap beroperasi pagi hari, larutan kopi yang tentunya sudah dingin lalu dituang ke teko alumunium.

Nah jika cairan kopi yang sudah dingin diberi es batu, pastilah rasa kopi masih sama dan citarasanya tidak akan terpengaruh. Tentu beda rasanya dengan yang sering kita temukan, dimana minuman kopi es disajikan dengan cara larutan kopi yang baru diseduh lalu dicampur es batu. Ini mengakibatkan panas dari racikan kopi langsung melumerkan es batu dan membuat citarasa kopi tidak terlalu nampak karena terkalahkan oleh air tambahan dari es baru yang mencair. Bandingkan saja saat menenggak kopi es Tak Kie, rasa asam kopi sedikit samar oleh legitnya susu kental manis yang dicampurkan. Selain citarasanya yang boleh dipujikan, suasana minum kopi di kedai itu memang sukar dicari padanannya.

Berkunjung ke kedai “Kopi Es Tak Kie”, tamu-tamu tidak hanya menikmati minuman kopi es saja, tapi dapat pula mencicipi aneka kuliner khas etnis Tionghoa. Sebab pengelola menyediakan juga sejumlah kudapan dan makanan berat, mulai dari mie pangsit kuah, mie pangsit goreng, bakso, nasi campur, nasi tim, nasi hainam hingga bakcang. Kendati sebagian besar sajian makanan mengandung bahan daging babi, tapi ada juga tersedia menu makanan yang memakai bahan daging ayam dan daging sapi maupun ikan laut. Karenanya, bagi pengunjung muslim yang mampir ke tempat ini sebaiknya bertanya terlebih dahulu. Ayo buktikan sendiri deh asyiknya menikmati sajian klasik disini. (jw)