Satelit Sendiri, Irit Hampir Sebesar Sewa (10)

Oleh : M. Dahlan Abubakar

Meskipun sempat diwarnai nada skeptis dengan adanya keraguan segelintir orang tentang perlunya BRI memiliki satelit sendiri, Asmawi Syam yang dilantik sebagai Direktur Utama BRI bergeming. Ia tetap jalan dengan semangat filosofi hidup orang Bugis-Makassar “Pantang surut ke pantai, jika layar terkembang”.

Dalam kalkulasi lulusan Fakultas Ekonomi Unhas tahun 1979 ini, setiap tahun BRI merogoh kocek sekitar Rp 500 miliar buat menyewa satelit dengan 23 transponder. BRI memang harus menyewakan banyak transponder guna melayani nasabahnya yang berada jauh terpecil di pelosok negeri. Itu sudah harga mati buat melayani sekitar 60 juta nasabahnya.

Jika dikalkulasi besar sewa yang dikeluarkan BRI untuk 23 transponder tersebut, maka tarif setiap transponder adalah Rp 21,739 miliar lebih. Untuk membeli satelit, BRI menghabiskan dana Rp 3,375 triliun, setara dengan US 250 juta dengan perhitungan kurs Rp 13.300 saat itu. Kalau setiap tahun harus mengeluarkan Rp 500 miliar untuk sewa satelit tersebut, perhitungannya masih murah jika dihitung lama pakai staelit yang mencapai 15 tahun plus tambahan 2 tahun.

Lagi pula dari 45 transponder BRIsat (4 transponder diberikan kepada pemerintah), BRI dapat menggunakan 41 transponder yang tersisa. Dari jumlah itu, jika BRI tetap menggunakan hanya 23 transponder seperti jumlah yang disewanya, berarti masih tersisa 18 transponder lagi. Atau dia mau sisihkan 10 transponder untuk ‘dibisniskan”, berarti akan memperoleh pemasukan Rp 210,739 triliun per tahun. Sebab perhitungannya dengan sewa Rp 500 miliar untuk 23 transponder per tahun yang dilakukan BRI, berarti “tarif” per transponder Rp 21, 739 triliun lebih.

Seperti dikemukakan Asmawi Syam kepada liputan6.com (31 Mei 2016), dengan adanya satelit sendiri, BRI bisa menghemat Rp 200 miliar per tahun setelah dikurangi biaya operasional.

Ini berarti jika selama satelit berfungsi (17 tahun), maka dana yang bisa di-“save” adalah Rp 34 triliun. Dana sebesar ini bisa dipakai untuk pengadaan minimal 6 satelit baru dengan perhitungan harganya rata-rata Rp 5 triliun lebih. Itu baru dari selisih margin dana sewa yang bisa disisihkan. Belum termasuk jika ada pihak yang hendak menyewa transpondernya kalau mau dibisniskan.

Berdasarkan kali-kali inilah mungkin Asmawi memilih ngotot membeli satelit sendiri, suatu langkah pertama dilakukan oleh seorang pimpinan bank di dunia sekalipun. Langkah inilah yang menempatkan BRI sebagai satu-satunya atau bank pertama yang memiliki satelit di jagat ini. Langkah dan pilihan Asmawi tersebut relevan dengan jalan pikirannya, yakni berorientasi kepada masa depan. Bisnis masa depan sarat dengan penggunaan teknologi.

Bank sebagai lembaga pelayanan jasa harus menyediakan piranti teknologi yang memungkinkan setiap orang dapat melayani dirinya sendiri. Mereka – terutama generasi muda yang menjadi pemilik masa depan – ingin semuanya serba simpel dengan memanfaatkan teknologi.

Menjawab tuntutan masa depan tersebut, BRI menyediakan mesin hybrid yang hingga saat ini memang masih terbatas jumlahnya. Baru dua bandara menyediakan fasilitas yang memungkinkan seseorang dapat menjadi nasabah BRI melalui “self service proces” hanya antara 3-5 menit saja. Bandingkan jika dilakukan secara manual melalui petugas “costumer service” atau “teller” di gerai-gerai BRI yang ada yang harus menunggu dan antre panjang dan lama.

Penduduk Makassar sangat beruntung karena salah satu dari dua bandara yang menyediakan fasilitas pelayanan mandiri seperti ini ada di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dan satunya lagi di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta Tangerang Banten.

“Masa depan adalah milik generasi muda, sementara orang tua hanya memiliki masa lalu yang hanya dapat dijadikan referensi,” ungkap Asmawi dalam salah satu wawancara yang ditayangkan di Youtube.

Perkembangan kecenderungan pelayanan jasa ke masa depan itu sudah tampak sekarang. Deja vu, sudah terlihat !! (Habis)