Singa vs Singa di Singaparna (4)

Oleh : M. Dahlan Abubakar

Memimpin cabang BRI di Singaparna Jawa Barat boleh jadi tak bakal dilupakan Asmawi Syam. Dalam usia yang terbilang muda, 33 tahun, pilihan menjadi kepala cabang itu dia harus korbankan peluangnya menimba ilmu pada program S-2 di Amerika Serikat. Lagipula, pada awal 1988, peristiwa ini terjadi, Asmawi Syam baru 10 bulan memangku jabatan sebagai kepala cabang pertama BRI di Masohi, sebuah cabang kecil nan terpencil di Pulau Seram, Maluku Tengah.

Suatu hari, kisah Asmawi seperti tertuang di halaman 119 buku “Leadership in Practice” yang ditulisnya bersama Rhenald Kasali (Balai Pustaka 2019), dia dipanggil ke kantor pusat BRI di Jakarta. Agendanya, mengikuti seleksi pendidikan S-2 ke Negeri Paman Sam.

Hati Asmawi berbunga-bunga memperoleh tawaran dan membayangkan bagaimana bisa menimba ilmu di negara adidaya itu. Namun baru satu minggu seleksi bergulir, tawaran lain datang.

“Lebih pilih mana, kuliah di Amerika atau menjadi kepala cabang BRI di Jawa Barat,” demikian bunyi tawaran itu yang tentu saja dipilih salah satunya. Meski mungkin sempat gamang karena dua tawaran tersebut sama-sama menggiurkan, Asmawi Syam agaknya lebih tertarik pada tawaran yang di tanah air saja. Menjadi kepala cabang di Jawa Barat.

“Wow.. mendapat brevet (dokumen penghargaan) sebagai kepala cabang di Jawa adalah suatu posisi yang membanggakan. Saat itu, bagi seorang kepala cabang yang ditempatkan di kantor cabang kecil seperti di Masohi, butuh waktu 6 hingga 7 tahun bisa mendapatkan promosi ke salah satu cabang di Pulau Jawa. Padahal, saat itu saya baru 10 bulan ditempatkan di Masohi. Artinya, ada loncatan karier 6 tahun lebih awal bagi saya. Jelas ini sangat menggoda,” tulis Asmawi.

Awalnya dia sempat menimbang-nimbang. Namun akhirnya dia memutuskan mengambil peluang menjadi kepala cabang di Jawa Barat yang ditawarkan itu. Sekolah di luar negeri, pikir Asmawi, bisa dilakukan lain waktu. Tokh hanya diperlukan waktu kurang lebih 2 tahun saja untuk menuntaskan pendidikan S-2.

Asmawi pun diberitahu, posisi yang dia tempati adalah menjadi Kepala Cabang BRI Singaparna, Tasikmalaya. Saat itu, kepala cabangnya lagi kosong. Belakangan Asmawi maklum, ternyata ada masalah antara nasabah dengan kepala cabang. Permasalahan itu meruncing tak berujung, bahkan menjurus dan bermuara kepada ancaman fisik terhadap kepala cabang BRI tersebut. Suatu malam, sang kepala cabang kabur dari tempat tugasnya, Dia meninggalkan rumah dinas guna menyelamatkan diri.

Ternyata di Singaparna tersebut ada permasalahan berat yang berpotensi pada aksi kekerasan. Asmawi mafhum itu kemudian. “Mungkin saya dipilih lantaran saat menjadi staf di kantor pusat BRI pada tahun 1984, saya dikenal sebagai atlet karate yang biasa melatih Satpam di kantor pusat,” gumam Asmawi.

Oleh karena itulah, lanjut Asmawi, barangkali dirinya dipandang cocok menyelesaikan masalah yang berpotensi pada ancaman fisik tersebut. “Ini tantangan yang menarik,” pikirnya kala itu. Menjelang hingga Asmawi tiba di Singaparna, kondisi di kantor BRI tersebut memang sangat genting. Asmawi diminta berangkat ke sana, setelah pamitan dari Masohi, Maluku Tengah nun jauh di sana. Sebelum sampai di Singaparna, Asmawi mampir ke Bandung, bertemu dengan Sucipto Wijaya, lelaki yang pernah memimpin Pimwil Ujungpandang dan saat itu dipercaya memimpin wilayah BRI Jawa Barat.

Ada kesan, Pak Sucipto Wijaya tak percaya dan yakin Asmawi akan menggantikan posisi kepala cabang Singaparna yang kosong ditinggalkan pejabatnya. Itu terlihat dari jalan pikiran bosnya. Mungkin yang dia bayangkan, kantor pusat akan mengirim sosok senior yang lebih berpengalaman dan wajahnya lebih sangar dari Asmawi yang terbilang masih belia guna menyelesaikan masalah yang begitu ruwet itu. Yang dikirim justru orang yang sangat muda. Asmawi waktu itu terbilang pemimpin cabang termuda dengan masa kerja sekitar 2 tahun 10 bulan selepas menjalani pendidikan Calon Staf Pimpinan (CSP) Angkatan I BRI.

“Saya kasihan kamu, Dik. Kariermu masih panjang, tapi kok sudah disuruh menghadapi masalah seperti ini,” begitu kalimat pertama Pak Sucipto yang mengindikasikan pesimismenya mengetahui Asmawi yang dikirim memimpin BRI di Singaparna yang sedang bermasalah.

Dari Pak Sucipto-lah Asmawi memperoleh informasi tentang kompleksitas permasalahan yang ternyata melibatkan tokoh masyarakat yang juga dikenal sebagai jawara setempat. Sudah jelas dia sangat disegani dan ditakuti di wilayah Tasikmalaya. Ada persoalan yang menggantung hingga membuat dia marah besar sampai meloncarkan ancaman fisik kepada kepala cabang BRI.

Dalam pertemuan dengan Pak Sucipto, Asmawi diinformasikan kalau di rumah dinas yang ditinggalkan pejabat sebelumnya sudah disediakan pengamanan dengan Satpam yang di-‘back up’ aparat TNI/Polri. Mendengar informasi tersebut, Asmawi sempat menolak, yang ternyata membuat Pak Sucipto marah. Asmawi akhirnya mengalah dan menikmati pengawalan yang ekstra ketat itu.

Bagi Asmawi, pengamanan yang disediakan tersebut termasuk fasilitas yang super istimewa. Begitulah, Pak Sucipto selalu ingin memastikan keselamatan diri bawahannya. Hingga saat ini, komunikasi dan silaturahim Asmawi dengan Pak Sucipto yang menjalani masa pensiunnya di kota sejuk, Batu Malang Jawa Timur itu, tetap terjalin.

Hari kedua Asmawi berkantor di Singaparna drama itu pun terjadi. Nasabah yang terlibat masalah itu muncul di kantor. Tak sendiri dia datang. Dua pria berwajah garang mengawalnya yang membuat seisi kantor langsung tegang.

Asmawi minta mereka masuk ke ruangan kerjanya. “Kalian berdua siapa ?,” Asmawi melontarkan gertakan pertama kepada dua pria sangar tersebut. “Kami pengawal,” jawab mereka.

“Saya tidak ada urusan dengan kalian. Sekarang kalian berdua silakan keluar dari ruangan ini,” tegas Asmawi membuat keduanya saling pandang lalu mengarahkan pandangan ke bosnya.

“Tenang saja, saya nggak ngapa-ngapain bos kalian,” sambung Asmawi melihat keduanya saling pandang dan mengibaratkan gertakannya itu bagaikan pukulan “knock out” (KO) secara psikologis buat mereka.

Bosnya kemudian mengangguk diikuti keduanya keluar. Bersamaan dengan lenyapnya kedua “pengawal” tersebut, Asmawi pun bangun, melangkah ke pintu dan mengunci pintu dari dalam.

Asmawi tinggal berdua dengan nasabah di ruangan. Tanpa basa-basi dia langsung minta agar Asmawi mencairkan kredit yang sudah ditandatangani berkas putusannya oleh kepala cabang sebelumnya.

“Tidak bisa. Sebab ada prosedur yang tidak benar dalam putusan kredit tersebut,” tangkis Asmawi.
Nasabah itu pun mulai menebar ancaman kepada staf-staf Asmawi yang dianggapnya ingkar janji. Dia meminta staf itu dipanggil masuk ke ruangan.

“Tidak perlu menghadirkan para staf. Sebab, mulai hari ini persoalan dan risiko ada di pundak saya. Karena itu mari kita selesaikan tanpa melibatkan mereka,” Asmawi berkata dengan tegas.

“Anda belum tahu siapa saya. Kalau Anda tahu, Anda tidak akan berani berperilaku seperti ini,” dia langsung menebar ancaman.

“Anda salah. Saya justru sudah tahu siapa Anda. Namun Anda-lah yang tidak tahu siapa saya. Ingat ya, Direksi BRI itu orang-orang pintar. Tidak mungkin menugaskan orang penakut di sini, menggantikan kepala cabang sebelumnya. Pasti saya lebih berani, lebih nekat dari dia,” balas Asmawi yang membuat aliran marah nasabah tersebut mulai menjalari wajahnya yang kemudian memerah.

Asmawi maklum, dia bagaikan seekor singa. Orang yang sangat ditakuti. “Oleh sebab itu, saya pun harus ‘menjadi seekor singa’. Sebab sekali saya merendah ‘menjadi seekor kambing’ yang gemetar dan ketakutan, maka akan langsung memangsa saya tanpa ampun,” kenang Asmawi (hlm 124).

“Kalau Anda nekat memaksa, saya pun bisa nekat. Risikonya tidak hanya ada di saya, tetapi juga di Anda,” tegas Asmawi yang membuat pertemuan itu bagaikan ‘pertarungan’ dua singa. Hanya saja uniknya, ketika singa vs singa itu, bukan saling terkam dan bunuh, melainkan justru muncul ‘respect’, saling hormat.

Nasabah tersebut menurunkan intonasi suaranya yang juga kemudian Asmawi ikut alurnya. Akhirnya, dia bercerita duduk permasalahannya dan cukup lama keduanya berdiskusi. Asmawi pun paham, kasusnya memang sangat kompleks. Tidak semua kesalahan ada di sisi mereka.

“Sekali lagi, ini terjadi karena rendahnya integritas,” kata Asmawi yang tidak merinci kasusnya di dalam bukunya.

Dari kasus itu, tulis Asmawi, pelajaran pentingnya adalah sebagai ‘leader’, saat ada masalah kita harus menunjukkan integritas dan keberanian. Tampil di depan, mengambil tanggung jawab.

“Pelajaran lain dari kisah di Singaparna ini, jabatan tidak untuk dipertukarkan atau diperjanjikan demi kepentingan sesaat,” kata Asmawi. (Bersambung)

Top Hit

Politik

Pendidikan

Seputar Sulawesi

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN