Menonton Film 'Bumi Manusia'

Oleh : Soeprapto Budisantoso.

Menonton film besutan Hanung Bramantyo berlatar belakang tempo dulu tentu tidak mengecewakan dari sisi cinematografi, penyutradaraan dan akting pemain.

Ine Febrianti, tubuh, gesture, dan wajahnya agak kurang pas untuk pribumi wanita zaman itu dibanding Ayu Laksmi. Iqbaal Ramadhan terlalu imut untuk tokoh yang benaknya syarat pikiran-pikiran moderen untuk memajukan bangsanya, sekaligus pengagum kecantikan. Wajahnya juga terlalu milenial.

Ketidak mampuan cinematografer memvisualkan kesibukan jalan raya Kranggan - Surabaya - Wonokromo di akhir abad 19, serta eksterior rumah bordil sebagaimana digambarkan Pram, mungkin karena enggan memakai CGI chromaki, cukup dengan yang ada.

Bagi yang sadar ilmu bumi, kehadiran danau besar di Wonokromo juga mengganggu setting cerita yang historis. Kecerobohan kecil seperti Minke ditinggal dijalan sepulang dijemput dari kabupaten tanpa koper bagasi, bisa lah diabaikan. Anggap saja kusir lupa dan ia sendiri tidak ingat.

Andaikan tidak kenal siapa itu Pram dan bagaimana itu karya sastranya yang diberinya judul 'Bumi Manusia', tentu kita puas akan film percintaan anak Bupati dengan gadis indo anak luar nikah Pengusaha Perkebunan Belanda Burderij Buitenzorg dengan Nyai Pribumi pengelolanya, yang panggilannya Nyai Ontosoroh ini.

Tetapi bagi mereka yang ingin melihat visualisasi dari drama, narasi, pemikiran, dan dialog 'made by' sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, lewat tokoh dan watak di novel berjudul 'Bumi Manusia' itu, ia boleh kecewa.

Jika beberapa adegan Pram harus hilang demi waktu yang 'hanya' maksimum 180 menit itu, mungkin bisa maklum. Tapi ini, mengganti adegan-adegam substantif Pram mengisinya dengan adegan-adegan non-Pram tetapi tetap memasang nama Pram disana, bukankah ini tergolong sesuatu yang manipulatip ?

Adegan pesta kelulusan, misalnya, versi buku : Annelis disambut oleh guru dan dibimbing ke tempat duduk diantara keluarga sementara Minke membaur dengan teman-temannya mendengarkan pengumuman ranking kelulusan dibacakan Kepala Sekolah. Bukan membaca di papan bersama Annelis, lalu : "Aan, aku nomor satu" seperti versi film.

Pernikahan oleh Pram hanya dinarasikan sebagai : 'secara Islam dimana Darsam jadi saksi'. Visualisasi adegan pernikahan dengan dialog 'syah' dan kata sambutan Martinet, bukanlah adegan dari novel 'Bumi Manusia'. Juga pesta ala barat dengan meja bundar dan busana pengantin barat, bukan adegan Pram.

Resepsi Pram, pengantin berbusana Jawa yang dikenakan langsung oleh ibunda sambil diberi wejangan dan dilakukan prosesi budaya Jawa. Disitu sekalian kritik ibunda kepada ananda yang banyak tahu Eropa, tapi tidak tahu Jawa.

Di pesta, Pengantin menyambut tamu dengan berdiri, kado bertumpuk disekitar kaki. Bukankah Pram melakukan riset atas hal ini ? Tapi dirubah semena-mena seraya tetap mengatasnamakan Pram.

Lagi adalah adegan pendopo Kabupaten B. Perlawanan diri terhadap 'tatacara' feodal yang harus dijalaninya yang ingin digambarkan Pram untuk tokoh kita ini, sama sekali tidak digarap. Seakan sang tokoh fine-fine saja dengan itu.

Juga misteri dan suspensi tentang apa dan siapa yang harus ditemui disana seakan tidak mengganggunya. Versi Pram, dibawa menghadap Bupati disitu sangat mengusiknya, dan ketemu ayahandanya disitu sesuatu yang tidak ia duga.

Tokoh Minke ini ditugasi jadi penterjemah ayahnya dalam pesta pelantikan, dan ia menyanggupinya karena sekaligus ingin dipamerkan reputasi berbahasanya dan sekolahnya di HBS.

Ketika giliran tiba, Pram membuatnya menterjemahkan kata demi kata sehingga hadirin paham isi pidato sang Adipati. Tapi dalam film, tokoh kita ini justru tidak menterjemahkan pidato sang ayah melainkan berpidato sendiri.

Jadinya tokoh ini manipulatif dan tidak jujur ? Membiarkan pidato ayahanda tidak dimengerti oleh tamunya yang Eropa ? Dialog ayah anak disitu juga bukan versi Pram, yang tetap tidak menyebut nama asli Minke sepanjang novelnya.

Di akhir cerita Pram menutup dengan adegan sangat mencekam. Pemisahan paksa Annelis dibawa ke Belanda dan ia terganggu kejiwaannya. Di filmnya, adegan penutup melodrama Minke memanggil meronta-ronta dalam hadangan marsose, sementara Annelis senyum dielu-elukan pegawai perkebunan di pintu gerbang seakan hendak pergi pesiar.

'Bumi Manusia' Pramoedya Ananta Toer adalah narasi panjang yang berisi renungan, pemikiran, essay, dan kisah manusia disekitarnya, dari pemuda pribumi keturunan ningrat, siswa HBS bernama panggilan Minke yang ingin membawa kemajuan bagi bangsanya dengan cara modern. Ia melawan stratanisasi masyarakat era Hindia Belanda di akhir abad 19, dimana Pribumi berada di tataran terendah.

Di pihak kolonial sendiri muncul tokoh-tokoh humanis yang iba dan menyusun pemikiran-pemikiran protes terhadap perilaku bangsanya, menjadi sahabat perjuangan tokoh kita itu, seperti Assisten Residen De La Croix dan dua anak gadisnya alumnus HBS, Guru HBS Juffrow Magda Peters, dan veteran Perang Aceh yang tragis sekaligus rekan bisnis, Jean Marais.

Sayang, di film tokoh-tokoh ini muncul sebagai pelengkap tanpa makna, menyisakan 'Bumi Manusia' sebagai film percintaan berlatar belakang intrik keluarga terkait status nyai dan pewarisan.

Akhirnya memang kembali ke misi pembuat film tentang apa yang mau dipertunjukkan. Namun dengan 'Bumi Manusia', tersangkut dua nama besar sejarah penulisan : Pramoedya Ananta Toer dan RM Tirto Adhi Soeryo. Keduanya tidak bisa ditampilkan dan ditafsir sembarangan. (*)